Sumpah Milenial
SUMPAH Pemuda rasanya perlu diperingati dengan ‘cita rasa milenial’. Sebuah ‘cita rasa’ yang belum diketahui betul seperti apa gerangan.
Generasi milenial sering diperbincangkan. Inilah anak bangsa yang lahir 1980 sampai 1995 yang jumlahnya diperkirakan mencapai 40 juta orang. Jumlah yang sangat bermakna terlebih dari lensa pemilihan umum, khususnya pilpres. Intinya kira-kira berbunyi barang siapa mampu merebut hati dan pikiran mereka sangat mungkin terpilih menjadi presiden. Boleh percaya, boleh tidak, karena rada ‘berlebihan’.
Begitu penting kaum milenial ini sampai Presiden Jokowi membawa mereka ke dalam lingkaran Istana. Mereka diangkat menjadi staf khusus. Sebuah keputusan yang menuai kritik, bahkan ada yang membahasakan mereka sebagai ‘patung hidup di Istana’.
Bagaimana generasi milenial ini memaknai Sumpah Pemuda? Baiklah kita sepenuhnya percaya kepada generasi muda, bahwa mereka memegang teguh tiga ikrar yang dicetuskan 93 tahun lalu, yaitu bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Hemat saya, kiranya putra-putri milenial khatam sumpah itu. Akan tetapi, selain Sumpah Pemuda 1928 itu, mereka perlu sumpah sesuai zamannya, Sumpah Milenial, sumpah zaman now.
Masalah besar dunia saat ini ialah pemanasan global. Tumpah darah hanya satu, bumi pun hanya satu. Inilah tanah yang kaya hutan tropis. Generasi milenial bersumpah menjaga, mengawal, dan melestarikan lingkungan hidup anugerah Sang Pencipta. Inilah Sumpah Milenial yang pertama.
Kedua, berbangsa satu, bangsa Indonesia yang mendunia. Bangsa yang dihormati dan disegani di dalam pergaulan bangsa-bangsa. Bangsa yang merebut dan mempertahankan reputasi dunia di semua cabang kehidupan. Yang bersumpah bahwa lagu Indonesia Raya dikumandangkan dan bendera Merah Putih dikibarkan saban kali kita berhasil menjadi juara di kancah internasional. Tidak seperti sekarang, Thomas Cup kembali ke Tanah Air, tanpa Merah Putih berkibar.
Generasi milenial malu. Kok bisa bangsa ini tidak melakukan tes doping terhadap atlet. Perkara elementer di dunia olahraga yang telah diabaikan generasi yang duluan lahir.
Generasi milenial bahkan terheran-heran generasi yang lebih tua itu malah menyalahkan pengurus LADI (Lembaga Antidoping Indonesia) sebelumnya yang dinilai mewariskan masalah. Lah, kok enggak diselesaikan oleh pengurus yang sedang menjabat dan baru ketahuan ada masalah setelah Merah Putih tak dikibarkan di Ceres Arena, Aarhus, Denmark?
Kultur mencari kambing hitam itu tak cocok dengan kultur milenial. Barangkali orang-orang yang lebih tua itu tidak percaya Thomas Cup dapat direbut kembali setelah 19 tahun. Mereka kayaknya menganggap enteng terhadap kemampuan dan daya juang Anthony Ginting, 25, pasangan ganda Fajar Alfian, 26, dan Muhammad Rian Ardianto, 25, serta Jonatan Christie, 24, yang merupakan generasi milenial, bahkan ada dari generasi Z yang lebih muda. Orang-orang tua pengurus LADI itu tak percaya generasi baru ini mampu menaklukkan Tiongkok. Sungguh ‘keterlaluan’, borok mereka baru ketahuan justru di puncak kegembiraan memenangi Thomas Cup.
Ketiga, berbahasa modern, bahasa digital. Ini sangat penting. Manusia bakal hidup beraktivitas di domain baru yang bernama cyberspace. Secara besar-besaran ternyata manusia lebih dulu hidup di dunia maya jika dibandingkan dengan di angkasa luar. Presiden Microsoft Brad Smith berkata di dalam 10 tahun kita akan melihat separuh penduduk dunia terkoneksi dengan internet untuk pertama kali. Ini jumlah manusia yang tak bakal terangkut ke angkasa luar dalam 10 tahun ke depan, betapa pun hebat kecerdasan, kekayaan, dan ambisi seorang Elon Musk.
Data dan digital membawa berbagai oportunitas di banyak cabang kehidupan dan serentak dengan itu sebaliknya juga membawa ancaman berupa serangan terhadap berbagai cabang kehidupan seperti bisnis dan korporasi, fasilitas publik, pertahanan negara, bahkan rahasia data pribadi. Generasi milenial kiranya bersumpah membangun kecanggihan dan keandalan cyberspace Indonesia dan turut serta menegakkan ekosistem digital bersama negara lain. Itulah isi Sumpah Milenial yang ketiga.
Kelemahan Sumpah Milenial itu dikarang oleh generasi kakek-kakek berumur 68 tahun yang sok tahu hati dan pikiran Generasi Milenial. Kiranya lahirlah Sumpah Milenial yang dibuat oleh mereka sendiri yang dapat dibacakan tahun depan pada 28 Oktober 2022, setelah Sumpah Pemuda berumur 94 tahun.