Korupsi sebagai Seni Hidup

351

SETELAH melalui seleksi ketat kini tinggal 20 orang lulus untuk  mengikuti seleksi berikutnya menjadi pimpinan KPK. Dari jumlah itu sejauh ini cuma seorang petahana pimpinan KPK yang lolos.

Gugurnya petahana pimpinan KPK sedikit atau banyak menunjukkan adanya ‘keusangan’ di tubuh elite KPK. Yang usang tentu gugur.

Menyeleksi anak bangsa ini untuk menjadi pimpinan KPK ialah pekerjaan setengah dewa untuk mendapatkan manusia setengah bahkan tiga perempat malaikat. Inilah tugas orang-orang bersih untuk mendapatkan orang orang superbersih duduk secara kolektif di puncak piramida KPK.

Apakah kita punya orang-orang superbersih untuk memimpin KPK? Korupsi di negeri ini kejahatan luar biasa. Untuk tugas superlatif itu diperlukan orang superior. Apakah 20 nama itu semuanya superbersih? Jika hasil uji publik tidak ada yang superbersih, melainkan relatif bersih, maka siapa pun terpilih baiklah dipandang sebagai orang yang relatif superbersih. Adakah yang super dan sekaligus relatif? Itulah kelucuan pertama logika dalam kita memberantas korupsi.

Dalam hal lucu, wajar orang tertawa. Dalam hal korupsi, tidak elok tertawa, karena korupsi bukan untuk ditertawakan. Korupsi untuk ditangisi.

Ditangisi karena apa pun rumusan korupsi, siapa pun duduk selaku pimpinan KPK, serta betapa pun ganasnya OTT, tidak ada tanda-tanda korupsi di negeri ini bakal tergerus dan terkikis. Bertambah banyaknya koruptor tertangkap basah sebaliknya malah menunjukkan tidak benar bahwa derajat korupsi menurun bila penangkapan gencar dilakukan.

Sesungguhnya dan senyatanya koruptor tidak takut OTT. Mereka orang-orang suka basah dan kalau basah berani mandi sekalian.

Rumus lain yang juga gagal ialah derajat korupsi ditentukan seberapa besar kekuasaan dan diskresi dalam pengambilan keputusan. Kekuasaan eksekutif telah dibatasi (antara lain cukup dua kali masa jabatan), diskresi pun telah pula dibatasi (antara lain harus mendapat persetujuan DPR/DPRD). Yang terjadi, untuk terpilih, eksekutif membeli suara rakyat, untuk mendapat persetujuan DPR/DPRD, membeli suara wakil rakyat.

Setan itu melingkar. Bukankah untuk duduk di DPR/DPRD membeli suara rakyat?

Masih ada rumus lain, yakni derajat korupsi menurun bila ada transparansi dan integritas. Untuk menegakkan transparansi pejabat publik harus melaporkan kekayaannya dan untuk menegakkan integritas menandatangani pakta integritas. Semua dijalankan, korupsi tetap tegak perkasa.

Kenapa korupsi begitu sulit diberantas? Mungkin karena dalam korupsi melekat dua perkara sekaligus, yakni kesalahan rasional (rational errors) dan perilaku irasional (irrational behavior). Kesalahan rasional terjadi bila koruptor berkesimpulan maslahat (returns) korupsi lebih besar daripada mudarat (costs) korupsi. Nikmat hasil korupsi lebih besar dibanding derita terkena OTT dan bertahun-tahun masuk penjara.

Korupsi sebagai perilaku irrasional terjadi bila orang mengira OTT ataupun jenis penangkapan KPK lainnya bisa diduga kapan dan di mana bakal terjadi atau mengira tidak bakal menimpa dirinya. Kalau toh menimpa diri cuma perkara kebetulan atau lagi apes.

Demikianlah korupsi di negeri ini terus bergerak maju tanpa keraguan atau ketakutan berkat hasil bentukan ‘kesalahan rasional’ dengan ‘perilaku irrasional’. Di fase itu sebetulnya korupsi menjadi ‘seni hidup tersendiri’. Bagaimana memberantas ‘seni aneh’ ini? Siapa pula bisa memberantasnya? Maaf, apakah KPK masih bisa?

Kiranya Anda mendapati suara sumbang di Podium ini. Saya sengaja menyuarakan kesumbangan itu agar panitia seleksi calon pimpinan KPK tidak lupa kepanjangan huruf ‘P’ dalam tubuh KPK. Akronim bisa memudarkan substansi. ‘P’ itu bukan ‘Penindakan’ atau ‘Pencegahan’, melainkan ‘Pemberantasan’.

Terhadap apa? Bukan semata terhadap uang negara, tapi lebih jauh dan lebih dalam pemberantasan terhadap korupsi sebagai ‘seni hidup tersendiri’.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.