Bubarnya Koalisi

330

SEBUAH ‘kebersamaan’ rapuh bila di dalamnya bersarang antagonistis. Yang satu ingin bertahan sebagai oposisi, yang lain ingin bergabung dengan kekuasaan. Tinggal tunggu waktu saja bubar.

Sebuah kebersamaan pun bubar bila kelahirannya memang dimaksudkan untuk kepentingan jangka pendek. Kepentingan besar ke mana negara mau dibawa berbeda dengan kepentingan menang atau kalah dalam pilpres. Yang pertama kepentingan ‘jauh’, yang kedua kepentingan ‘dekat’.

Bagi kepentingan ‘dekat’ itu koalisi ‘terbuka-tertutup’ bukan perkara haram atau halal. Bukan pula hal ihwal yang perlu ditimbang patut atau tidak patut. Timbanglah sebagai kewajaran belaka bahwa setelah kepentingan ‘dekat’ usai (pilpres), terlebih gagal, wajarlah pintu koalisi terbuka untuk yang ingin keluar. Bila alasan kelahiran koalisi pupus, bubar lebih santun.

Dalam kalah saya pikir orang mudah memahami makna ‘wajar’ berpisah, bahkan ‘wajar tanpa syarat’. Sebaliknya dalam menang kiranya sulit menerima ‘wajar tanpa syarat’. Contoh, ada ketua umum partai yang bilang kalau capres diusungnya menang, partainya minta 10 kursi menteri. Putusan MK menang. Tanggung amat, minta saja semua kursi di kabinet lengkap dengan sofanya.

Sarkastis? Bila yang wajar terlampaui, berkemungkinan besar terbuka peluang ‘kurang ajar’. Karena itu, sekalipun dalam kata ‘wajar’ terkandung implisit makna ada ‘batas-batas’, tetap perlu diperkuat menjadi ‘wajar tanpa syarat’ sehingga ‘batas-batas’ eksplisit.

Berkoalisi dengan kemungkinan ada yang kurang ajar membuat koalisi yang menang pun perlu dibikin dan dipelihara dengan style ‘terbuka-tertutup’. The door is open buat yang kurang ajar. Emangnye siape gue?
Gue ialah sistem presidensial. Gaya parlementer dilarang masuk. Arogansi parlemen yang terhormat itu tinggalkan di luar Istana.

Koalisi berkaki banyak di dalam kekuasaan eksekutif memang diperlukan demi kuat dan stabilnya pemerintahan. Di dalam sistem multipartai di DPR bisa muncul ‘bola liar’, padahal di situ banyak ‘pemain tanpa bola’.  Apakah orang bisa dibikin bersetia dengan garis partai di kabinet dan di DPR? Tegaknya garis partai memerlukan disiplin. Terlebih lagi tegaknya disiplin koalisi. Padahal disiplin kualitas langka.

Bayangkan ada partai di dalam koalisi berkelakuan oposisi melalui fraksinya di DPR. Mereka tidak mengindahkan sistem presidensial. Apa hak DPR ‘mengekskomunikasikan’ menteri yang notabene eksistensinya termaktub dalam konstitusi dan kedudukannya sebagai pembantu presiden diatur dalam undang-undang?

Pandangan ideal koalisi bukan bagi-bagi kursi menteri. Dalam kenyataan, berkoalisi tanpa syarat pandangan terlalu maju untuk zamannya. ‘Ketinggian’ untuk diteladani. Dalam pandangan politik praktis, minta 10 kursi bukan serakah, apalagi dosa. Namanya minta, mintalah sebanyak-banyaknya.

Memberi sebetulnya lebih indah daripada meminta. Akan tetapi, itu hanya cocok untuk dunia kebatinan, bukan dunia kekuasaan. Dalam berkoalisi, siapa rela menjadi penonton atau gigit jari?

Karena itu, baiklah publik mencermati bagi-bagi kursi kekuasaan di kabinet, serta bagi-bagi kursi pimpinan di DPR. Fokuskan perhatian siapakah yang duduk di kursi itu. Suka atau tidak, bermutu atau tidak, itulah potret elite Indonesia hasil pemilu serentak.

Tentu menarik menanti bagaimana presiden terpilih menghadapi animo besar elite yang koalisinya barusan bubar ingin bergabung dengan koalisi pemenang pilpres. Apakah pintu bakal dibuka bila diketuk? Apakah dibuka kalau diketuk berkali-kali?

Ketukan itu mungkin berisik. Mungkin pula timbul pikiran baiklah pintu koalisi dibuka dengan pengertian setelah bergabung keberisikan bakal meredup. Selebihnya keberisikan tinggal suara minoritas di parlemen yang  perlu dan penting dalam checks and balances.

Jika itu terjadi, hormatilah hak prerogatif presiden agar umur sistem presidensial panjang. Moralnya kurang lebih sama dengan hormatilah orangtuamu agar panjang umurmu. Bukankah presiden orangtua rakyat?


Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.