Tegak di Kaki Konstitusi

299

KEPADA siapakah kita sebagai bangsa memercayai masa depan? Saya pikir inilah pertanyaan besar yang memerlukan pikiran besar dan jiwa besar untuk menjawabnya.

Masa depan itu kiranya tidak dapat dipercayakan kepada anak cucu yang belum lahir. Juga tidak dapat dipercayakan kepada orang yang sebentar lagi pergi meninggalkan dunia ini. Bahkan mungkin tidak dapat dipercayakan kepada siapa pun tanpa pandang bulu. Kenapa?

Yang diperlukan kiranya bukan ‘siapa’, melainkan ‘apa’ dan ‘bagaimana’, sehingga ‘siapa’ pun itu anak bangsa di masa depan patuh kepada ‘apa’ yang ditegakkan pendiri bangsa. Bagaimana memperkukuh landasan yang memberikan harapan bahwa dalam pergeseran zaman baru di dalam peradaban di masa depan itu ‘pandangan hidup Indonesia’ tetap tegak sebagaimana dicitakan pendiri bangsa?

Pilpres 2019, yang tidak terhindar dari pengaruh pilkada Jakarta yang mengusung Ahok, seperti nyaris menghabisi ‘pluralisme Indonesia’. Sesungguhnya dan senyatanya kita rawan perpecahan etnik dan agama. Kiranya kita perlu penguatan kembali sebagai bangsa.

Untuk itu diperlukan sikap kritis terhadap demokrasi yang destruktif. Nilai-nilai yang menonjol sekarang ini tidak hanya materialisme, tetapi juga vetoisme. Tumbuh di tengah kita sebagai anak bangsa untuk memveto apa pun buah perbedaan, bahkan buah kekuasaan negara. Buah yang manis pun diveto sebagai buah yang asam, bahkan pahit.

Vetoisme itu melahirkan ketegangan berbagai kekuatan yang mestinya saling mendukung, berubah menjadi saling bertentangan. Hasil pilpres di tangan KPU hendak diveto, juga yang di tangan Mahkamah Konstitusi. Demokrasi konstitusionalisme dihadapkan dengan people power, legitimasi dihadapkan dengan legalitas, suara rakyat dihadapkan dengan suara Tuhan.

Tentu orang perlu melek bahwa konflik kebenaran dan politik bukan perkara baru di kolong langit. Itu cerita tua, sangat tua. Karena itu, menyederhanakannya tidak ada maslahatnya.

Kebenaran tidak bicara untuk dirinya, kebenaran pun tidak bicara dengan sendirinya. Sementara itu, politik bicara untuk dirinya, bahkan bicara dengan berisik kepada diri yang lain.

Sebaliknya, kebenaran harus disuarakan. Demikian pula keadilan yang merupakan saudara kandung kebenaran. Keduanya kiranya lahir dari rahim yang sama dalam cahaya yang mahasunyi dan mahasuci.

Saya pikir itulah alasan utama hakim memberi putusan dengan membawa serta Sang Maha Pencipta. Contohnya, setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat kepala putusan yang berbunyi ‘Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’, yang semuanya ditulis dalam huruf besar.

Yang dipakai ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ bukan ‘Ketuhanan Yang Mahasuci’.  Kenapa? Izinkan saya sok pintar menjawabnya; karena tidak ada Illah lain selain Yang Mahasuci. Ketuhanan yang mahadua, mahatiga, mahasejuta, sejuta pulalah ketidaksuciannya, ketidakbenarannya, ketidakadilannya.

Bahasa klasiknya demi keadilan sekalipun langit runtuh. ‘Langit runtuh’ ialah metafora, terlalu abstrak untuk terjadi. Kata Immanuel Kant, lebih baik semua orang binasa daripada ketidakadilan tegak. Konon Kant juga bicara lebih tajam, demi keselamatan dunia ini biarlah para bajingan binasa.

Tidak boleh kebenaran dan keadilan binasa di MK. Tidak boleh, karena di MK landasan yang memperkuat harapan di masa depan sedang diuji dan dipercayakan.

Kita tidak ingin Bumi Pertiwi runtuh di kaki vetoisme. Kita ingin bangsa dan negara kuat tegak di kaki konstitusi.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.