Dua Wajah Jakarta
MERAYAKAN ulang tahun Kota Jakarta kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pembeda utama ialah tersedianya MRT.
Transportasi publik itu memudahkan publik datang merayakan ulang tahun ke-492 Jakarta, Sabtu (22/6). Warga datang membeludak, yang tampak pada begitu panjangnya antrean penumpang yang hendak keluar Stasiun MRT Bundaran HI.
Hemat saya bukan perayaan ulang tahun itu yang benar-benar menarik hati warga, melainkan warga ingin merasakan nikmatnya naik MRT. Padatnya antrean di stasiun MRT itu juga terjadi pada hari Lebaran kedua (6/6). Saya termasuk penumpang yang ikut antre amat panjang bersama banyak sekali warga yang hanya ingin merasakan perjalanan MRT ulang-alik Bundaran HI-Lebak Bulus.
Penumpang di sebelah saya, yang usianya sama tuanya dengan saya, berkomentar, “Akhirnya kita tidak perlu ke Singapura untuk menikmati MRT.” Komentar senada sering saya dengar.
Tidak hanya MRT yang membuat warga bangga. Keluar-masuk stasiun MRT, orang bertemu dengan trotoar yang lebar dan apik. Terasa benar hadirnya wajah baru Jakarta.
Akan tetapi, Jakarta wajah baru yang membanggakan itu masih hidup berdampingan dengan wajah lama Jakarta yang memprihatinkan. Kata Syamsu Rosid, peneliti dari UI, setiap tahun permukaan tanah Jakarta turun sekitar 11 cm. Ada dua penyebabnya. Pertama, eksploitasi air tanah yang berlebihan. Kedua, kegiatan yang banyak menimbulkan getaran seperti truk-truk bertonase berat ataupun pembangunan infrastruktur yang cukup intensif.
Akibatnya, semakin tinggi potensi rob di Jakarta Utara. Bahkan, ada yang memprediksi Jakarta Utara tenggelam pada 2050.
Wajah Jakarta memprihatinkan lainnya ialah jumlah penduduk Jakarta yang terus bertambah saban kali seusai Lebaran. Ali Sadikin mencegah arus urbanisasi ini dengan mengembalikan pendatang yang tidak jelas tempat tinggalnya dan tidak jelas tujuannya atau tidak punya pekerjaan ke kampung asalnya. Terakhir, Gubernur Ahok melaksanakan kebijakan itu dengan tegas. “Kalau dia enggak ada ongkos, kita kasih,” kata Ahok.
Sebelum dipulangkan, mereka membuat perjanjian untuk tidak kembali datang ke Jakarta tanpa tempat tinggal, tanpa tujuan. Bila perjanjian itu dilanggar pendatang yang sudah dipulangkan itu kembali lagi dengan tujuan yang tidak jelas dan tanpa tempat tinggal, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memidanakan mereka dengan tuduhan melakukan penipuan.
Akan tetapi, Gubernur Anies Baswedan melonggarkan kebijakan itu. Kenapa? Katanya dia tidak akan melakukan operasi yustisi atau razia dokumen administrasi bagi warga yang datang ke Jakarta seusai lebaran. “Setiap warga negara Indonesia berhak untuk bekerja di mana saja karena memang Indonesia memiliki kesetaraan itu, termasuk juga Jakarta,” ujar Anies.
Dalam perspektif HAM, kata-kata Anies itu terdengar heroik. Benarkah? Terus terang sepertinya semata Anies ingin berbeda dengan gubernur sebelumnya, khususnya Ahok. Terdengar heroik, padahal senyatanya daya dukung Jakarta tidak mampu lagi memikul pertambahan penduduk.
Dugaan Anies cuma mau berbeda dengan Ahok diperkuat dengan kebijakannya menerbitkan IMB pulau reklamasi. Hal yang dinilai melukai pendukungnya.
Demikianlah, dengan wajah Jakarta yang satu warga tersenyum bangga, tetapi dengan wajah Jakarta yang lain warga prihatin. Bahkan, muncul pertanyaan elementer, mau ke mana Jakarta dibawa oleh Anies? Pertanyaan itu juga patut ditujukan kepada partai-partai pengusung Anies khususnya, DPRD DKI Jakarta umumnya.
Juga perkara yang mengherankan, kenapa sejak Sandiaga Uno mundur dari jabatan wakil gubernur untuk menjadi cawapres, posisi Wagub Jakarta dibiarkan kosong? Kenapa tidak ada penjelasan yang terbuka kepada publik? Apakah ada agenda tersembunyi untuk mengembalikan Sandiaga duduk di jabatan itu? Jabatan kepublikan hasil pilihan rakyat tidak elok untuk dibikin seperti mainan petak umpet.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.