Petarung dan Pemenang

335

ADA fakta psikologis yang menarik hati. Fakta itu ialah semakin bertambah orang yang membahasakan dirinya sebagai petarung.

Terkadang sebutan petarung itu disertai dengan predikat ‘sejati’. Sang diri pun bertambah kukuh menjadi petarung sejati.

Kata ‘sejati’ kiranya kata yang kerap digunakan justru di masa kita menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Di masa kita hidup dalam sistem otoriter, di masa Orde Baru, rasanya kata ‘sejati’ tidak ‘eksis’. Apa yang bikin dia kini eksis?

Barangkali karena kita tidak lagi memercayai ada diri yang asli sehingga kita perlu menyebut ‘diri sejati’. Untuk meyakinkan khalayak pembaca, misalnya, kita memulai kalimat dengan “Sejatinya…” yang menggantikan “Sesungguhnya…”.

Dalam hal petarung rupanya ada petarung palsu, atau petarung kulit luar tok, sehingga orang perlu membahasakan diri sebagai ‘petarung sejati’. Inilah petarung benaran, luar dan dalam. Bukan hanya kulitnya, melainkan juga isinya.

‘Petarung’, sejati ataupun palsu, akan kehilangan makna bila tidak dikaitkan dengan ‘pemenang’. Petarung tidak hidup di alam angan-angan, atau di alam nyata berupa shadow boxing, tapi tidak pernah naik ring.

Jarak petarung dan pemenang pendek. Sekalipun jaraknya pendek, petarung belum tentu menjadi pemenang. Saya pikir itulah yang dialami Liverpool di Liga Primer. Sejauh ini, hingga musim ini yang punya kedua-duanya (petarung dan pemenang) ialah Manchester City.

Pemenang bisa ditumbangkan, bahkan dengan dramatis, bila kehilangan karakter petarung. Hal yang jarang terjadi karena itu sangat menggegerkan bila sampai terjadi. Hemat saya, itulah yang diderita Barcelona, sang pemenang, yang ditumbangkan Liverpool, sang petarung, di Liga Champions. Barca telah unggul 3-0 di kandang, tapi kemudian dihabisi 4-0 dalam laga tandang. Kenapa? Karena Barca kehilangan jiwa petarung. Maaf, di Anfield dia menjadi ayam sayur.

Contoh lain bagaimana Ajax, sang pemenang, ditumbangkan Tottenham Hotspur, sang petarung, juga di Liga Champions. Ajax pun telah lebih dulu unggul 1-0 di kandang lawan. Bahkan, pada mulanya membuat kejutan dengan mudah menyikat Tottenham 2-0 di Stadion Johan Cruyff. Dengan agregat 3-0 seperti mustahil Tottenham menjadi pemenang. Kenyataannya kemudian Ajax ditumbangkan dengan skor 3-2. Kendati agregat 3-3, berkat lebih banyak menggasak gol tandang, Tottenham yang maju ke final berhadapan dengan Liverpool.

Saya pikir kehebatan karakter petarung dan kehebatan karakter pemenang itulah yang sekarang kita saksikan di Liga Primer. Hasilnya, untuk pertama kali empat klub Inggris (Liverpool, Tottenham, Chelsea, dan Arsenal) yang tampil di final kejuaraan Eropa.

Kehebatan karakter petarung dan karakter pemenang itulah pula yang bikin Manchester City hanya unggul satu poin saja daripada Liverpool untuk menjadi juara Liga Primer. Itu pun harus menanti sampai detik terakhir musim ini.

Kata Juergen Klopp, pelatih Liverpool, tidak mudah mengalahkan City dengan kekuatannya yang sekarang dan keuangan yang dimilikinya. Sebaliknya, Pep Guardiola, pelatih City, berterima kasih kepada Liverpool yang membuat level mereka musim ini lebih tinggi daripada musim sebelumnya.

Demikianlah petarung dan pemenang saling menghormati. Hemat saya, itulah pula yang hendaknya bersama kita wujudkan dalam pilpres.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.