Tentang Kebebasan Berpikir
APA yang kita pikirkan tidak sampai ke publik bila tidak dikomunikasikan. Tidak mengherankan bila ada yang berpandangan kebebasan berekspresi lebih utama ketimbang kebebasan berpikir.
Saya tidak sependapat. Seorang bisu kehilangan sebuah cabang kebebasan berekspresi, yaitu berkomunikasi secara lisan. Seandainya dia pun buta huruf, bertambah satu lagi cabang kebebasan berekspresi yang hilang, yaitu berkomunikasi secara tulisan. Akan tetapi, si bisu dan buta huruf itu masih punya satu kebebasan yang sifatnya mutlak dan tidak terbantahkan, yaitu kebebasan berpikir.
Sejak kapankah seorang anak manusia mulai berpikir? Salah satu jawabnya sejak usia 2 tahun. Pada usia itu sang toddler mulai independen. Ia bicara sejumlah kata-kata, memakai baju sendiri yang mudah, bersepeda roda tiga, dan tidak kalah penting bernyanyi kecil untuk dirinya sendiri.
Seraya bernyanyi kecil untuk diri sendiri itu kiranya sang toddler tengah menikmati kebebasannya berpikir dan sekaligus mengekspresikannya. ‘Sekaligus’, tetapi saya percaya kiranya berpikir mendahului berekspresi.
Orang yang dikurung di penjara dapat kehilangan kebebasan berekspresi, tapi dia tidak kehilangan kebebasan berpikir. Karena itu, sekali lagi saya setuju dengan pandangan bahwa kebebasan berpikir merupakan hal yang mutlak yang tidak terbantahkan.
Kebebasan berpikir menghasilkan bermacam-macam mutu buah pikiran. Ada pikiran besar, ada pikiran konyol, bahkan tolol. Akan tetapi, setolol-tolol buah pikiran yang diproduksi tidak boleh membuat si produsen dilarang berpikir. Orang tolol pun harus dilindungi kebebasannya berpikir sama seperti melindungi kebebasan berpikir orang pintar.
Kebebasan berpikir berpotensi menghasilkan buah pikiran yang mengganggu kemapanan pikiran umum. Apakah buah pikiran yang mengganggu pikiran umum dapat digolongkan sebagai mengganggu ketertiban umum?
Pikiran umum tidak dengan sendirinya bertautan dengan ketertiban umum. Sepanjang ia berhenti sebagai buah pikiran semata, tidak berlanjut menjadi buah agitasi, buah perbuatan, hemat saya tidak ada ketertiban umum yang terganggu. Tidak ada ketertiban umum yang terganggu, sekalipun pikiran umum terganggu.
Dalam makna kebebasan berpikir itulah saya ingin menempatkan buah pikiran Rocky Gerung bahwa kitab suci fiksi. Bahkan, saya tidak melihat sejak pikiran ‘aneh’ itu masuk ke ruang publik mengakibatkan terganggunya pikiran umum, terlebih terganggunya ketertiban umum. Tidak sama sekali.
Saya pertama kali mengenal Rocky Gerung di masa awal terbitnya majalah berita Editor. Saat itu, ia menulis untuk sebuah kolom di majalah yang kami asuh itu. Hal itu terjadi di akhir 1980-an, di masa orde Baru, di era otoriter.
Dipetik dari ingatan, kendati di era tanpa kebebasan berpendapat, dalam tulisannya itu Rocky Gerung telah mengangkat topik pentingnya diskursus publik. Sebuah bukti bahwa pengajar filsafat di UI itu (statusnya ketika itu) menggumuli perkara kepublikan.
Salah satu pengertian berfilsafat ialah berpikir. Orang yang berfilsafat dapat saja seorang yang cinta naik gunung. Namun, lebih diperlukan bila ia seorang pencinta kebebasan berpikir.
Hemat saya, kebebasan berpikir ‘mendahului’ kebebasan lainnya yang diatur konstitusi atau undang-undang, seperti kebebasan beragama, kebebasan berserikat, dan kebebasan berpendapat.
Menurut sebuah pandangan, berpikir ‘mendahului’ eksistensi. Aku berpikir, maka aku ada. Yang tidak berpikir tidak perlu dipandang ‘ada’.
Berpikir memiliki aturannya sendiri, hukum-hukum logika. Di situ orang berkutat dengan deduksi atau induksi, tesis, antitesis, dan sintesis. Di situ orang terkena aturan premis mayor-premis minor dalam silogisme.
Di dalam kebebasan berpikir itu Rocky Gerung menyimpulkan bahwa kitab suci fiksi. Apakah kesimpulan itu benar atau salah?
Rocky Gerung tentu punya alasan kuat sampai pada kesimpulan kitab suci fiksi. Alasan kuat itu rasanya perlu penjelasan yang panjang dan mendalam. Kiranya tempatnya bukan di kantor polisi, melainkan di mimbar-mimbar akademik di sekolah-sekolah teologi.
Faktanya ialah mimbar-mimbar itu tidak tertarik, apalagi terusik, terlebih lagi terganggu dengan pikiran Rocky Gerung. Jangan-jangan mereka menilainya hanya sebagai igauan orang yang akalnya sehat yang punya panggung untuk masuk ke ruang publik.
Saya berbeda pilihan capres dengan Rokcy Gerung. Akan tetapi, hal itu tidak menghambat saya untuk membela kebebasannya berpikir, sekalipun buah pikiran yang dihasilkan itu merupakan sebuah igauan yang berbeda dengan pikiran umum.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.