Rasa yang Dalam
BEBERAPA hari ini visi dan misi pasangan calon presiden-wakil presiden kiranya menjadi topik perbincangan publik. Kenapa? Karena tiga hari lagi, Kamis (17/1), debat publik yang pertama diselenggarakan KPU.
Visi dan misi merupakan bahan pokok debat publik. Visi ialah kemampuan melihat ke depan. Visi menjawab ke mana kita sebagai bangsa dan negara bakal dibawa sang pemimpin.
Misi ialah apa yang ingin dilakukan sang pemimpin dalam lima tahun sampai berakhir masa jabatannya kalau terpilih sebagai presiden-wakil presiden.
Apa yang ingin dilakukan sehingga masa depan yang dinyatakan dalam visi dapat diwujudkan? Itulah sebabnya visi dan misi merupakan pasangan yang tidak terpisahkan.
Dalam debat publik capres-cawapres berbagi visi dan misi atau membela visi dan misinya dan berharap sebanyak-banyaknya orang bakal memilihnya.
Untuk bisa mencapai ‘sebanyak-banyaknya’ orang memilih, visi dan misi itu haruslah disusun dan disampaikan sedemikian rupa agar ‘bunyi’ untuk sebanyak-banyaknya rakyat yang berhak memilih. Siapa mereka?
Menurut data BPS, pada 2016 rata-rata lama sekolah rakyat Indonesia 7,95 tahun. Pada 2017 naik menjadi 8,10 tahun. Dengan kata lain rata-rata SLTP kelas 2.
Profil pendidikan itu nyata dan jelas menunjukkan bahwa mereka hanya dapat dijangkau dengan visi dan misi yang dibahasakan dengan sederhana,disampaikan dengan sederhana, dan menyentuh ‘rasa yang dalam’ sebagai rakyat.
Di situlah letak persoalan. Tidak mudah untuk membuat visi dan misi yang sederhana dan mengomunikasikannya dengan sederhana pula sehingga mudah dipahami ‘seumumnya’ rakyat yang rata-rata lama sekolah 8,10 tahun.
Terlebih tidak mudah menyentuh rasa yang dalam di sanubari mereka. Visi dan misi memang dibuat elite terdidik. Kiranya di di situ bersarang pula arogansi intelektual kaum perkotaan. Berkeinginan merevisi visi dan misi yang telah menjadi dokumen resmi KPU agar lebih estetis–bukan agar lebih komunikatif bagi kebanyakan rakyat–kiranya pertanda arogansi itu.
Ada jurang pendidikan pembuat visi dan misi dengan rakyat kebanyakan.
Pembuat visi dan misi sedikitnya lama sekolah 16 tahun (S-1), mungkin 17 tahun (S-2), bahkan 20 tahun (S-3). Bandingkan dengan rakyat yang dituju yang rata-rata lama sekolah 8,10 tahun. Tidak mengherankan bila visi dan misi tidak ‘bunyi’, lalu yang dijual isu yang menyerang capres secara personal.
Ada substansi yang seperti abadi dari masa ke masa. Visi dan misi pasangan presiden-wakil presiden selalu mengandung perihal mengurangi kesenjangan.
Namun, tiada kunjung berkurang signifikan. Apa pasal?
Jurang kaya dan miskin melebar antara lain karena penyusun visi-misi dan ‘kawan-kawannya’, dan ‘rombongannya’, dan ‘saudara-saudaranya’, menjadi jauh lebih kaya setelah yang dibuatkan visi dan misi itu menjadi presiden-wakil presiden. Kekuasaan melipatgandakan kekayaan.
Karena itu penting mencermati rekam jejak calon presiden-wakil presiden, apakah betul punya ‘rasa yang dalam’ terhadap rakyat. Apakah betul punya ‘kekuatan dari dalam dirinya’ untuk mengatasi kesenjangan dan menyisihkan pengeruk kekayaan dari lingkaran dalam kekuasaannya.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.