Diri yang Harum

315

BAGAIMANAKAH mestinya seorang presiden yang terpilih kembali menghormati secara mendalam mantan wakil presidennya?

Jangan membuang waktu mencari jawaban dalam sejarah kepresidenan Republik Indonesia. Kenapa? Karena memang jawabannya tidak dapat ditemukan di masa lalu.

Faktanya belum pernah terjadi presiden yang berkuasa kembali menunjukkan rasa hormat yang mendalam kepada mantan wakil presiden yang sebelumnya mendam­pinginya. Akarnya kuat, presiden ingin dirinya sendiri yang harum.

Yang terjadi di masa lalu ialah perpisahan. Bukan bersama-sama harum. Presiden terpilih kembali tidak lagi membutuhkan mantan wakil presidennya. Hubungan kemudian lebih merupakan hubungan seremonial. Setiap perayaan 17 Agustus dia diundang ke Istana, seperti mantan wakil presiden lainnya.

Sikap macam itu warisan Pak Harto yang berpisah ‘begitu saja’ dengan wakilnya. Punya wakil presiden karena diatur konstitusi. Wapres merupakan kepantesan bernegara.

Bahkan, sekalipun telah menjadi wapres yang bersangkutan tetap dipandang sebagai bawahan. Karena itu tidak akan muncul pertanyaan, bagaimanakah supaya diri sama-sama harum? Bagaimanakah mestinya seorang presiden yang terpilih kembali menghormati secara mendalam mantan wakil presidennya agar sama-sama harum?

Pertanyaan itu juga tidak muncul ketika zaman berubah, ketika pasangan presiden-wakil presiden tidak lagi dipilih MPR, melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Bukankah di zaman baru itu cawapres diperhitungkan memberi pengaruh elektoral? Benar, tetapi kemudian ‘terlupakan’.

Terlupakan karena hubungan yang terbangun semata kontrak lima tahun. Habis itu sayonara, goodbye. Maaf, saya kira itulah yang terjadi dalam hubungan SBY-JK.

Sejarah kemudian punya cerita baru. JK digandeng Jokowi, menjadi wakil presiden kembali. Dia satu-satunya wakil presiden dua periode, untuk dua presiden berbeda. JK tidak dapat diusung kembali bersama Jokowi karena konstitusi, bukan karena faktor lainnya. Pekan lalu Jokowi bilang bila ia terpilih kembali menjadi presiden, ia meminta JK tetap membantunya melaksanakan tugas-tugas negara.

Meminta bantuan untuk tugas-tugas negara jelaslah merupakan ekspresi rasa hormat yang mendalam kepada sang wakil. Bukan rasa hormat seremonial. Hubungan Jokowi-JK bukan hubungan kontrak lima tahun, lalu adios amigos. Jokowi ingin dirinya harum bersama. Sebuah contoh keteladanan.

Saya teringat pandangan yang bilang kemenangan pribadi yang berintegritas merupakan fondasi bagi kemenangan publik. Kemenangan Jokowi untuk dua periode juga berkat kepemimpinan berintegritas bersama JK.

Jokowi melihat kepemimpinan sebuah karya yang bersifat saling mengisi, sa­ling memperkuat, bahkan dalam derajat tertentu saling tergantung. Karena itu, ia meminta wakil presidennya itu untuk tetap membantunya melaksanakan tugas-tugas negara bila ia terpilih kembali menjadi presiden. Kiranya itu ajakan agar tetap harum bersama.

Seorang presiden pada akhirnya bukan hanya merupakan sebuah pilihan. Namun, keyakinan bahwa yang terpilih akan meninggalkan jejak yang dalam di ranah kepublikan, serta diri yang harum di hati rakyat yang terdalam karena keteladanannya.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.