Kode Moral untuk Mahkamah Agung

338

KIRANYA bangsa ini perlu kegilaan untuk menggerakkan kode moral untuk mencapai hal-hal yang besar dan mulia di semua cabang kehidupan.

Menghasilkan yang besar dan mulia di ranah yudikatif merupakan tugas Mahkamah Agung. Yang ‘agung’ itu melampaui yang ‘tinggi’ (pengadilan tinggi), dan amat tinggi jika dibandingkan dengan yang ‘negeri’ (pengadilan negeri).

Terus terang dari segi logika hierarki terjadi penyimpangan. Kenapa yang dipakai ‘negeri’, bukan ‘rendah’ (pengadilan rendah)? Hakim tidak pernah rendah dalam sejarah peradaban manusia. Demikian pun masih perlu ditambahkan predikat junjungan, ‘majelis hakim yang mulia’.

Yang mulia karena mereka dipercaya untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan keagungan. Dipercaya sekalipun manusia makhluk yang serbakurang.

Manusia serbakurang itulah yang mungkin dapat dijadikan faktor pemaaf (yang menyakitkan) bila yang disebut yang mulia itu putusannya ternyata atau terasa tidak mulia.

Yang mulia yang menghukum Sokrates. Terpidana yang mulia itu memilih minum racun daripada dihukum berdasarkan putusan hakim yang mulia. Kenapa? Karena putusan yang mulia tidak berisikan kebenaran yang diyakini sang filsuf.

Kisah itu menunjukkan keabadiannya bahwa jangan cari kebenaran di ruang pengadilan. Hakim agung pun bukan penegak kebenaran. Terasa pahit? Memang. Terasa getir? Tentu. Namun, bukankah manusia selesai sebagai manusia bila hidup tanpa pengharapan? Itulah moral yang menghidupi jiwa orang untuk tidak berputus asa, untuk tetap mencari kebenaran di muka hakim yang mulia sekalipun pahit dan getir hasilnya.

Karena itu, jangan heran bila terdengar hakim sendiri mengatakan mereka bukanlah tempat untuk mencari kebenaran. Pergilah ke orang-orang suci.

Lalu hal besar apakah yang engkau cari di hadapan yang mulia? Carilah keadilan di ruang pengadilan. Bukan di jalan raya, di gang sempit, juga bukan di hutan perawan yang luas. Di pengadilan tempatnya. Di sanalah keadilan ditegakkan sekalipun langit runtuh karenanya.

Memang ke sanalah, ke mahkamah yang agung, koruptor mencari keadilan untuk dapat menjadi calon legislatif. Keadilan pun tegak. Permohonan koruptor dikabulkan. Sebaliknya, hal besar langit pencegahan korupsi di KPU dan KPK runtuh. Juga runtuh hal besar lainnya, yaitu moral publik yang sedang muak-muaknya karena menggilanya syahwat korupsi anggota legislatif.

Apa kata hakim agung tentang putusan mereka membolehkan koruptor menjadi caleg? Peraturan KPU bertentangan dengan UU Pemilu. Apa artinya? Hakim yang mulia menegakkan hukum seadanya. Mereka tidak menggunakan kekuasaan kehakiman yang dimiliki mereka untuk memperkaya hukum karena digerakkan kode moral untuk mencapai hal-hal yang besar dan mulia. Tiba-tiba nongol di benak saya, 44 tahun lalu guru pengantar ilmu hukum berdiri di ruang kelas, di Kampus Bulaksumur Yogya. Katanya, hakim dapat menciptakan hukum. Menciptakan, bukan semata menganulir.

Hakim agung ialah guru hukum di alam empiris, bukan guru di ruang kelas. Putusannya melampaui kamar mana pun di Mahkamah Agung. Karena itu, saya jengkel ketika membaca pendapat hakim agung Gayus Lumbuun yang dikutip harian ini. Dia berkata, “Putusan itu bukan disukai atau tidak. Rakyat toh punya kedaulatan untuk tidak memilih mereka. Begitu saja.”

‘Rakyat toh punya kedaulatan’ ialah bahasa politik. Bukan bahasa hakim yang punya kedaulatan di sidang pengadilan. Gayus memang semula anggota legislatif, politikus yang menjadi hakim agung. Tidak ada setitik pun tergambarkan kode moral di dalam pernyataannya itu sebagai hasil berkaca pada kenyataan suram, bahwa kedaulatan rakyat telah menghasilkan 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang ditangkap KPK sehingga perlu penciptaan hukum untuk mencegahnya.

Kata Walter Lippmann, di sekitar tiap rumusan hukum ada penafsiran-penafsiran hukum yang bertugas menjawab kasus-kasus yang lebih khusus. Di dalam kasus khusus koruptor tidak boleh menjadi calon legislatif, publik mengira mendapat keagungan putusan Mahkamah Agung. Yang terjadi ialah putusan keadilan bagi koruptor.

Rasanya tidak keliru untuk bilang bangsa ini perlu kegilaan, bukan kenormalan, untuk menggerakkan kode moral, untuk menghasilkan hal-hal besar dan mulia di semua cabang kehidupan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.