Memilih Status daripada Integritas
SEANDAINYA benar, lebih banyak anak bangsa ini memilih status daripada integritas, kiranya masa depan negeri ini benar-benar tanpa harapan.
Pernyataan itu mengenai pengandaian bila seumumnya anak bangsa. Bagaimana dengan khususnya elite bangsa, terlebih khusus lagi pemimpin bangsa?
Podium
Memilih Status daripada Integritas
Saur Hutabarat Dewan Redaksi Media Group – 16 August 2018, 05:30 WIB
SEANDAINYA benar, lebih banyak anak bangsa ini memilih status daripada integritas, kiranya masa depan negeri ini benar-benar tanpa harapan.
Pernyataan itu mengenai pengandaian bila seumumnya anak bangsa. Bagaimana dengan khususnya elite bangsa, terlebih khusus lagi pemimpin bangsa?
Elite negeri ini pun senyatanya lebih banyak yang memilih status daripada integritas. Karena itu, urusan besar bangsa ini ialah punya pemimpin transformatif yang hanya dapat dipercaya karena memang jujur dan berintegritas.
Pemimpin bangsa seyogianya punya banyak kualitas yang tidak dimiliki mereka yang dipimpin. Sedikitnya ada tiga kualitas yang perlu dikedepankan.
Pertama, kepercayaan diri yang mengandung keberanian dan kearifan. Menjadi pemimpin bangsa memikul tanggung jawab yang sangat kompleks di Bumi Pertiwi. Di antaranya menghadapi kepentingan yang bersaingan, bahkan berlawanan.
Pemimpin bangsa tidak mungkin memuaskan semua kalangan. Risiko mesti diambil, keputusan ditetapkan di atas semua respek, yang memperteguh pengakuan anak bangsa, bahwa ialah sang pemimpin.
Kedua, intelektualisme. Sekurang-kurangnya ada 106 kutipan yang mengekspresikan intelektualisme. Yang paling saya suka, kutipan dari George Orwell. Katanya, “Some ideas are so stupid that only intellectuals believe them.”
Sejumlah ide sangat bodoh, hanya intelektual yang memercayainya. Apa artinya? Intelektualisme mengandung kerendahan hati. Pemimpin bangsa ialah pemimpin untuk semuanya, yang berkemampuan mendengarkan pendapat dari yang sangat pandai hingga pendapat yang paling bodoh. Itulah kepemimpinan yang pikirannya terbuka.
Ketiga, kejujuran dan integritas. Disebut yang ketiga, bukan berarti yang paling buncit, apalagi yang paling kerdil dalam makna kepemimpinan.
Hemat saya, justru kejujuran dan integritas urusan besar bagi negeri ini. Banyaknya kepala daerah ditangkap KPK merupakan bukti betapa buruk kualitas kejujuran dan integritas.
Bahkan, KPK punya daftar tersendiri elite yang tidak patut dijadikan menteri, terlebih cawapres, karena jejak rekam mereka tidak bersih. KPU membuat peraturan yang meniadakan hak politik terpidana korupsi untuk menjadi calon legislatif.
Majelis hakim berbagai perkara korupsi telah mendahului KPU, yaitu menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik. Hukuman perkara tidak membuat orang jera korupsi.
Yang dilakukan KPK, hakim, dan KPU itu ialah upaya untuk turut mencegah rakyat tidak salah pilih, yaitu memilih pencari status–penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahan–dengan tidak memedulikan kejujuran dan integritas.
Anak bangsa sepertinya tidak mengharamkan politik uang. Mereka malah toleran terhadap faktor penyebab korupsi itu. Tidakkah semua itu bukti bangsa ini perlu kesinambungan pemimpin bangsa yang transformatif? Bukan pencari status!
Orang hanya bisa menjadi pemimpin bangsa yang transformatif bila terbukti jujur dan berintegritas, yaitu satunya kata dengan perbuatan. Ukuran yang paling simpel, tapi sekaligus yang paling sulit di tengah politik transaksional, di tengah mental memilih status daripada integritas. Itulah urusan besar Pilpres 2019.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.