Sengketa Air Malaysia-Singapura

267

DUA negara tetangga, Malaysia dan Singapura, kiranya mewakili dua keunggulan berbeda. Malaysia punya air sungai, Singapura punya teknologi pengolahan air. Keduanya membuat perjanjian dalam hal air, dan kini berpotensi bertikai perihal air.

Yang mengungkit pertikaian, siapa lagi kalau bukan Mahathir Mohamad, Perdana Menteri Malaysia untuk kedua kali. Belum lagi 100 hari memimpin negerinya, pada 22 Juni 2018, Mahathir bersuara keras tentang perjanjian kerja sama air dengan Singapura yang dinilainya merugikan Malaysia. “Kita akan duduk dan bicara dengan mereka, sebagai orang beradab,” katanya.

Pokok persoalan ialah harga pembelian air Sungai Johor terlalu murah, yang kemudian setelah diolah menjadi air bersih di Singapura, dijual terlalu mahal ke Malaysia.

Perjanjian air itu dibuat pada 1962 dan berakhir pada 2061. Singapura dapat mengimpor setiap hari sampai 250 juta galon air yang belum diolah dari Sungai Johor dengan harga 3 sen ringgit per 1.000 galon. Singapura kemudian wajib menjual sebagian air yang telah diolahnya itu kembali ke Malaysia dengan harga 50 sen ringgit per 1.000 galon.

Menurut Mahathir, harga penjualan air hasil olahan Singapura itu terlalu mahal. Perjanjian itu disebutnya sebagai nyata-nyata konyol. Sebelumnya, pemerintah negara bagian Johor telah mengajukan usul agar harga pembelian air Sungai Johor dinaikkan 1.600%, atau menjadi 48 ringgit per 1.000 galon.

Apa kata pemerintah Singapura? Katanya, Singapura tidak perlu menanggapi setiap artikulasi yang dilansir Mahathir karena semua itu lebih ditujukan kepada publik dalam negeri Malaysia. Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen membahasakan isu air itu sebagai isu kedaulatan negara Malaysia, sebagai upaya Mahathir untuk mengalihkan warga Malaysia dari urusan politik dalam negeri.

Kementerian Luar Negeri Singapura menggarisbawahi bahwa kedua negara harus mematuhi secara penuh perjanjian air 1962. Kenapa? Karena perjanjian itu merupakan perjanjian fundamental yang dijamin dalam perjanjian 1965, yaitu perjanjian pemisahan kedua negara yang didaftarkan di PBB.

Singapura memang punya kecanggihan teknologi mengolah air. Negara kota itu sadar betul akan keterbatasan sumber daya air. Mereka mengembangkan kemampuan mengolah air sedemikian rupa sehingga semua air bekas-pakai diolah kembali untuk dapat digunakan kembali.

Kebijakan kelembagaan pun membuat terwujudnya kebijakan yang holistis di bawah Public Utilities Board (PUB). Sejak 1 April 2001, penyaluran kotoran dan drainase yang semula di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dipindahkan di bawah kewenangan PUB, yang semula hanya mengurus air bersih, listrik, dan gas. Dengan demikian, PUB juga mengelola sirkulasi air Singapura tanpa ada yang terbuang.

Profesor Asit Biswas, penerima Stockholm Water Prize 2006, menilai Singapura dan Tokyo merupakan dua kota terbaik di dunia yang paling efisien mengelola air di sektor publik. Baik dari segi daur ulang air, sistem tarif yang memberi kontribusi sangat signifikan bagi konservasi air maupun keberhasilan membangun kesadaran warga.

Apa makna pertikaian air itu bagi kita? Pertikaian air itu jelas menggambarkan pertarungan sejati dua negara yang punya sumber daya alam berhadapan dengan negara yang punya kecanggihan teknologi. Siapa yang menang? Sejauh ini yang merasa dirugikan ialah pemilik sumber daya alam, yang disuarakan dengan keras oleh Mahathir.

Kekalahan pemilik sumber daya alam, hemat saya, bahkan bakal terpuruk lebih dalam bukan semata karena kurang fair-nya perjanjian dengan negara yang unggul teknologi, tetapi juga karena sumber daya alam itu bakal terkuras habis.

Singapura melakukan pengukuran. Hasilnya tinggi permukaan air Sungai Johor terus menurun yang bakal menjadi masalah baik bagi Singapura maupun Malaysia. Sesungguhnya dan senyatanya Singapura tidak bisa lagi mendapatkan air Sungai Johor sebanyak 250 juta galon per hari seperti dalam perjanjian.

Air kita pun terancam terkuras habis. Kiranya kita yang kaya air ini pun perlulah belajar baik dari segi kelembagaan, kesadaran publik, maupun teknologi untuk mengolah air buangan agar dapat dipakai kembali. Akhirnya, moral yang relatif klise masih relevan disebut kembali, bahwa keunggulan sumber daya manusia memang di atas keunggulan sumber daya alam. Sejujurnya, mutu manusia itulah perkara besar bangsa ini.

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.