Negara tanpa Pejabat

315

TERUS terang rasanya kurang afdal apabila tidak menanggapi pernyataan Ketua MPR, Zulkifli Hasan, yang juga Ketua Umum PAN, yang mengkhawatirkan kepala daerah dan pejabat negara akan habis menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi jika KPK terus-menerus melakukan operasi tangkap tangan (OTT).

Seorang teman berkomentar tajam, pejabat negara habis tidak apa-apa asalkan korupsi juga habis. Apakah yang mau dipelihara pejabat negara yang korupsi?

Pendapat teman itu kiranya ekspresi yang hidup di kalangan warga. Bila warga pembayar pajak ditanya dalam sebuah jajak pendapat, pilih negara tanpa pejabat atau tanpa korupsi, kiranya hasilnya warga memilih negara tanpa pejabat.

Pendapat lebih memilih negara tanpa pejabat menunjukkan betapa muak rakyat kepada pejabat negara yang korupsi. Terlebih kepada pejabat publik yang duduk di jabatannya itu karena dipilih rakyat secara langsung, seperti kepala daerah.

Apa sebetulnya yang kita pertaruhkan dengan hasil pilihan demokratis itu jika hasilnya pejabat negara yang korupsi? Suara terbanyak bisa saja menyesatkan, yang terpilih dalam pilkada ternyata seorang bajingan. Padahal, suara rakyat tidak bisa ditarik kembali. Sekali mencoblos di bilik suara, seumur hidup menyesal. Apa yang disesali?

Tentu tidak menyesali demokrasi sebagai sistem yang diyakini terbaik, sekalipun faktanya menghasilkan kepala daerah perampok uang negara. Orang lalu terhibur di dalam kepahitan produk demokrasi itu, untunglah masih ada KPK.

Demikianlah OTT yang dilakukan KPK terasakan mewakili penghukuman dari rakyat yang terluka karena amanahnya dihancurkan sang pejabat. Apakah pejabat negara akan habis menjadi tahanan KPK jika KPK terus-menerus melakukan OTT? Jawaban warga bisa tegas, kenapa tidak? Kenapa tidak dihabisi saja semua pejabat negara yang korupsi itu?

Jika seorang Zulkifli Hasan, yang pejabat negara itu, Ketua MPR, tidak ingin tertangkap tangan KPK, pilihannya gamblang, yaitu jangan korupsi. Kalau merasa diri sendiri tidak kuasa melawan godaan gratifikasi, misalnya, kenapa tidak mengundurkan diri saja dari jabatan publik?

Pejabat publik sepatutnya mempertanyakan diri sejati dan diri aktual dalam jabatan. Seberapa jauh terjadi perbedaan atau persamaan di antara keduanya?

Yang dicari tentunya orang yang bijaksana, yang pantas dihormati, yang memegang jabatan negara dengan martabat besar yang sadar betul akan dua perkara. Pertama, manusia ialah makhluk yang serbakurang. Kedua, kepentingan diri penyebab orang bertindak buruk. Bila dua perkara itu melekat dalam diri pejabat publik, baik diri yang sejati maupun yang teraktualkan dalam jabatan, kiranya tidak ada lagi kepala daerah dan pejabat negara yang menjadi tahanan KPK.

Sebaliknya, betapa celaka negara bila yang terpilih ternyata orang yang dirinya sejati dan dirinya yang aktual dalam jabatan memang berdarah korupsi. Inilah diri yang ingin menggemukkan yang serbakurang dan yang menjadikan kepentingan diri sebagai motif dasar tindakan. Pejabat negara macam ini biarlah dihabisi KPK, sekalipun dengan akibat negara tanpa pejabat.

Sesungguhnya dan senyatanya tidak masuk akal negara tanpa pejabat. Akan tetapi, di benak dan di hati warga, lebih tidak masuk akal dan sakit hati kenapa korupsi tidak dapat diberantas. Sampai kapan?

Yang ironis ialah sesuai nama lembaga, pemberantasan korupsi itu tugas Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemberantasan, bukan hanya penangkapan koruptor. Suatu hari di depan sana, dapat berbalik warga pembayar pajak menilai KPK gagal. Lalu, orang bilang lebih baik negara tanpa pejabat, termasuk pejabat KPK.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.