Roy Suryo Dilarang Bicara
SELASA (17/4) lalu, dalam bahasa yang santun, terbit sebuah advertorial yang cukup memikat. Besarnya sehalaman surat kabar nasional. Bertajuk ‘Surat buat Semua’, isinya memperkenalkan kepada publik Relawan Gojo, relawan Golkar Jokowi.
Disebutkan dalam iklan itu bahwa inisiator organisasi relawan itu ialah Airlangga Hartarto, yang dibahasakan sebagai ‘seorang tokoh nasional yang kini dipercaya memegang amanah sebagai Menteri Perindustrian RI dan Ketua Umum Partai Golkar’.
Foto sang inisiator bersama Jokowi, keduanya tersenyum, hampir setengah halaman koran, menjadi foto utama advertorial itu. Jokowi mengenakan kaus berwarna kuning (warna Golkar), sebaliknya Airlangga berkaus warna putih (warna baju kerja Jokowi).
Eksplisit pula disebutkan bahwa tujuan Relawan Gojo menjadi jelas dengan sendirinya, yaitu untuk mendukung pemenangan Presiden Jokowi dalam Pilpres 2019, sekaligus untuk mendorong peningkatan suara Partai Golkar dalam Pileg 2019.
Sebelumnya, Partai NasDem lebih dulu mencanangkan tagline di ruang publik, ‘Jokowi Presidenku, NasDem Partaiku’. Baliho besar di seluruh Indonesia itu menggunakan foto Surya Paloh bersama Jokowi. Keduanya mengenakan jas warna gelap dan berdasi.
Pertanyaan yang mencuat, tidakkah semua itu dalam rangka sang tokoh hendak dijadikan cawapresnya Jokowi? Dalam banyak kesempatan, berkali-kali Surya Paloh tegas menyatakan tidak berkeinginan menjadi cawapres. Dalam Pilpres 2019, seperti dalam Pilpres 2014, Partai NasDem bakal mengusung dan memenangkan Jokowi tanpa syarat.
Karena itu, untuk seorang Surya Paloh, pertanyaan perihal dirinya dicandrakan menjadi cawapres tidak relevan sama sekali. Sebaliknya, pantas muncul pertanyaan terbuka, tidakkah lahirnya Relawan Gojo pertanda sang inisiator, Airlangga Hartarto, berkeinginan atau diinginkan Partai Golkar menjadi cawapres Jokowi?
Yang jelas, selain Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang telah menjajakan dirinya di mana-mana, kini di ruang publik kian bertambah ramai sosok yang dapat ditafsirkan sebagai bakal cawapres.
Dalam perjalanan dari Bandara Adisucipto, Yogyakarta, menuju Magelang, Selasa lalu (17/4), saya melihat baliho besar, ‘Romahurmuziy untuk Indonesia’. Tidak terus terang norak bilang untuk jadi cawapres, tetapi adakah calon lurah/cabup/cagub bilang dirinya untuk Indonesia? Saya membatin, Ketua Umum PPP itu seperti mau bilang kepada Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, emangnye cuma ente yang bisa pasang baliho untuk jadi cawapres?
Sekarang muncul Airlangga Hartarto, Ketua Umum Golkar, sebagai inisiator Relawan Gojo. Saya kembali membatin, Cak Imin, emangnye cuma ente yang bisa jualan citra di ruang publik untuk jadi cawapres?
Demikianlah Pilpres 2019 sesungguhnya bukan terutama kerepotan memilih presiden, melainkan juga kerepotan dan keruwetan menentukan bakal calon wakil presiden. Daftar sosok yang pantas atau merasa pantas menjadi cawapres menjadi panjang sekali. Hal itu tidak hanya terjadi di kubu Jokowi, tetapi juga di kubu Prabowo. Bahkan ada sembilan kader PKS yang disebut layak diusung menjadi cawapres Prabowo.
Tidak ada negara yang kelebihan pemimpin. Umumnya yang terjadi negara kekurangan pemimpin. Sekarang negara ini sepertinya kelebihan calon wakil presiden. Padahal, yang benar kelebihan orang yang levelnya baru layak menjadi ketua umum partai.
Hemat saya, tidak semua dari mereka itu telah tergolong sebagai pemimpin. Karena itu, masih perlu memosisikan diri di ruang publik, tepatnya menjajakan diri, untuk dilirik menjadi cawapres. Kiranya saya perlu membatin sekali lagi, Cak Imin, emangnye cuma ente….
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.