Gerakan Cerdas Digital

331

KITA hidup di era digital, agility era (istilah ekonomi baru untuk kecepatan).

Gagasan-gagasan menjadi realitas dalam kecepatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Inilah era pembunuhan kearifan alon-alon asal kelakon. Lambat tidak selamat, cepat pun belum tentu selamat, tetapi cepat diyakini lebih baik.

Ini juga era pembunuhan kearifan lama lainnya, bahwa yang baru tidak selalu lebih baik, yang lama tidak selalu yang paling baik.

Kenapa? Perubahan ialah perkara setiap hari sehingga orang tidak lagi sempat berurusan dengan hal ihwal yang lama.

Dalilnya kejam, yaitu barang siapa tidak membangun kultur digital bakal mampus.

Barang siapa itu bisa kaum profesional, perusahaan, atau negara.

Kaum profesional yang tidak berkultur digital kiranya tersingkir dari himpunannya.

Harapan hidup perusahaan anjlok dari sekitar 67 tahun pada 1920-an menjadi sekitar 10 tahun sekarang.

Bagaimana negara membangun ekonomi digital, itulah yang mesti dijawab pemerintah bersama DPR yang tajam pikirannya (bukan mulutnya).

Lihatlah Tiongkok yang telah sepenuhnya mengintegrasikan ekonomi informal ke dalam ekonomi formal melalui telepon pintar dan pembayaran elektronik.

Tiongkok dalam perjalanan menjadi masyarakat tanpa uang tunai (cashless society).

Kapital di dunia mengalir melalui e-keuangan (e-finance) dan Jack Ma bersama Alibabanya terus bergerak dari negara komunis menjadi kapitalis dunia melalui e-commerce.

Apa rahasia Tiongkok?

Negara itu berkultur digital yang dengan sadar dibangun antara lain melalui sumber daya manusia yang bernama engineer.

Sebanyak 30% mahasiswa S-1 mengambil engineering sebagai mayor.

Bandingkanlah dengan AS yang hanya 8%. (David P Goldman, 2017).

Jalan Tiongkok itu jalan fundamental.
Akan tetapi, negara yang baru sekarang menirunya sebagai satu-satunya jalan dipastikan makin ketinggalan. Tirulah Singapura.

Untuk menjadi pemain dalam ekonomi digital global, Singapura mengambil langkah progresif.

Sejak 11 April 2016, di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika, pemerintah Singapura mencanangkan program Tech Skills Accelerator (Tesa), yaitu program percepatan keahlian ICT (information and communication technology) yang meliputi analisis data, artificial intelligence, the internet of things, dan cyber security.

Pada 2016 disediakan anggaran S$120 juta.

Tahun ini dana ditambah lagi S$145 juta.

Pelatihan ICT telah dilakukan di 27 ribu tempat pelatihan.

Pada 2020 jumlahnya akan ditambah 20 ribu lagi tempat pelatihan antara lain untuk sektor manufaktur dan jasa pelayanan profesional.

Tesa telah melatih 16 ribu profesional ICT.

Menurut perhitungan pemerintah Singapura, pada 2017-2019 dibutuhkan 42 ribu profesional ICT.

Tahun lalu sektor ICT menyumbang 8% GDP Singapura.

Begitulah pemerintah Singapura membuat sebuah jalan baru untuk memampukan warga untuk berkeahlian dan berketerampilan ICT.

Jalan progresif itu total menelan S$265 juta atau setara Rp1,650 triliun, masih jauh kalah besar jika dibandingkan dengan anggaran KTP-E Rp5,9 triliun, yang perkara megakorupsinya tengah diadili.

Disrupsi digital bukan neraka jahanam. Di dalamnya terkandung oportunitas.

Singapura contoh terbaik dan terdekat bagaimana negara itu dengan cerdas menggerakkan kemampuan belajar anak bangsa.

Suatu hari Presiden Jokowi menyentil dunia perguruan tinggi yang lamban merespons ekonomi digital.

Katanya, kenapa tidak dibuat fakultas ekonomi digital?

Bapak Presiden, jawabannya barangkali bukan di kampus, bukan di dunia akademi, melainkan melalui gerakan masyarakat cerdas digital (bukan cuma melek digital) yang merupakan sinergi hebat Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Caranya? Ikuti saja model Singapura.

Hemat saya, tidak perlu malu mengkloning kecerdasan tetangga.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.