Rakyat Memilih Tersangka

300

PEMBUAT undang-undang pilkada sepertinya tidak pernah berfantasi bahwa seorang tersangka korupsi bakal menjadi salah satu calon kepala daerah yang dapat dipilih rakyat. Namun, itulah yang akan terjadi di hari pilkada serentak 2018, ada nama dan foto tersangka korupsi di tempat terhormat, yakni di surat suara, sebagai salah satu calon kepala daerah yang sah dan yang dapat dicoblos rakyat.

Dalam perkara itu tidak ada urusan malu atau malu-maluin. The show must go on. Kenapa? Undang-Undang Pilkada tidak memberi pintu keluar. UU itu mengunci sangat ketat agar pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan tetap maju dalam pemilu. Partai politik atau gabungan partai politik dilarang menarik calon yang diusungnya.

Sang calon pun dilarang mengundurkan diri sekalipun calon kepala daerah tersebut telah ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi. Banyak kepala daerah dihukum karena korupsi, tapi pembuat undang-undang tidak membayangkan, apalagi tergelitik untuk dengan penuh kesadaran mengantisipasi bahwa akan ada calon kepala daerah yang tertangkap tangan korupsi justru di masa pendaftaran calon hingga pemungutan suara.

Pembuat undang-undang tidak ingin berprasangka buruk, bahkan menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah sampai berkekuatan hukum tetap. Yang diantisipasi ialah bila calon berhalangan tetap. Pembuat Undang-Undang Pilkada sadar benar tidak ada manusia yang akan hidup selama-lamanya, tidak kecuali calon kepala daerah.

Man is mortal. Dalam hal terjadi pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon meninggal dunia, undang-undang memberi waktu kepada partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pengganti. Demikianlah kematian diantisipasi, bahkan bukan hanya terjadi di masa pendaftaran, melainkan juga sejak penetapan pasangan calon kepala daerah sampai dengan hari pemungutan suara.

Saban kali ada calon yang mati, saban kali itu pula partai pengusung punya solusi, karena memang tersedia jalan keluar. Berbeda halnya dengan calon kepala daerah menjadi tersangka korupsi. Partai pengusung tidak bisa berbuat apa pun karena memang tidak masuk hitungan pembuat undang-undang sehingga tidak mengantisipasi bakal terjadi.

Tidak diantisipasi sekalipun status tersangka korupsi patut digolongkan sebagai ‘kematian kepercayaan publik’. Siapa yang bilang? Perlu diulang, siapa yang bilang korupsi kematian kepercayaan publik? Kiranya itu juga pertanyaan skeptis pembuat undang-undang. Tertangkap tangan KPK berarti patut dipastikan terjadi kejahatan pidana, tetapi tidak berarti terjadi kejahatan di mata rakyat yang punya hak suara.

KPU pun tidak berdaya karena Undang-Undang Pilkada tidak mengantisipasinya, apalagi mengaturnya. Maka, proses politik menguji kepercayaan rakyat terhadap tersangka politik itu harus tetap diselenggarakan dalam pemilu yang demokratis. Bahwa tersangka korupsi yang menang dengan suara terbanyak, orang tidak boleh mengatakan dalam perkara itu suara rakyat, bukan suara Tuhan.

Vox populi, vox dei kiranya tetap berlaku, tapi beriringan dengan ungkapan lainnya, yaitu masyarakat mau ditipu, maka mereka pun tertipu (Populus vult decipi, ergo decipiatur). Penipuan itu direstui undang-undang, bahkan dengan semua urutannya, yaitu sampai kepala daerah tersangka korupsi itu dilantik menjadi kepala daerah, bahkan dalam hal telah menjadi terdakwa.

Akan tetapi, saat itu juga ia diberhentikan, yang sebetulnya menunjukkan penyia-nyiaan suara rakyat yang turut tertipu undang-undang. Baiklah publik menunggu bagaimana rakyat menggunakan hak suaranya dalam pilgub Nusa Tenggara Timur. Di situ rakyat punya pilihan untuk memilih tersangka korupsi, Marianus Sae, yang ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan.

Di situ demokrasi kita diuji, apakah pilkada memulihkan demokrasi atau malah mengukuhkan demokrasi kita sebagai demokrasi bandit, yang selain toleran terhadap mahar, juga toleran terhadap tersangka korupsi. Pernyataan demokrasi bandit itu sepertinya keras dan kasar, padahal begitu faktanya, demikian adanya.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.