Play to Win

312

TAHUN ini kiranya tahun seleksi dan sekaligus tahun untuk melihat gambaran pemimpin pada 2019.

Siapakah yang usai dan siapakah yang melaju terus?

Siapakah yang tahu batas?

Itulah pertanyaan menggoda di kancah nasional.

Di kancah global kiranya juga terjadi bahwa tidak semua pemimpin tahu batas, tepatnya tahu diri.

Edisi khusus The World in 2018 majalah The Economist menyebut Presiden Venezuela Nicolas Maduro, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, dan manajer Arsenal FC (London Utara) Arsene Wenger ialah pemimpin yang mestinya lengser dari jabatan, tetapi mereka enggan melakukannya.

Nicolas Maduro, 55, menjadi presiden sejak 19 April 2013. Ia terpilih dalam pilpres luar biasa yang diselenggarakan karena Presiden Hugo Chavez meninggal dunia.

Sejak 19 November 2013, Maduro memimpin Venezuela dengan dekret sebagai diktator.

Negara rusak dibuatnya. Ekonomi memburuk, standar hidup rakyat merosot, kriminalitas meningkat, juga inflasi, kemiskinan, dan kelaparan.

Karena itu, Maduro sebaiknya lengser.
Namun, mana ada diktator turun dengan sukarela?

Najib Razak, 64, disumpah sebagai Perdana Menteri Malaysia pada 3 April 2009.

Ia disorot berkaitan dengan skandal keuangan yang terjadi di perusahaan negara, 1Malaysia Development Berhad (1MDB).

Najib ialah perdana menteri yang merangkap jabatan chairman di perusahaan investasi itu.

Najib gencar hendak digulingkan antara lain oleh seniornya, Mahathir Mohamad.
Namun, dia justru kian berkuasa, sesukanya mengganti jaksa agung dan deputi perdana menteri.

Arsene Wenger ialah manajer klub sepak bola terlama yang telah memimpin Arsenal selama 21 tahun.

Bayangkan, 13 tahun klub itu tidak menjuarai Liga Primer Inggris sehingga Wenger didesak untuk diganti atau mengundurkan diri.

Wenger mengedepankan permainan cantik.

Ia lupa play to win.

Faktanya, Wenger masih memimpin Arsenal sekalipun klub itu terlempar dari empat besar dan tidak berhak berlaga di Liga Champion.

Ratu Inggris Elizabeth II dipandang perlu mengikuti Kaisar Jepang Akihito yang dengan alasan sepuh menyatakan diri turun takhta tahun ini.

Ratu yang telah bertakhta selama 66 tahun itu saatnya menyerahkan singgasana kepada putranya, Pangeran Charles.

Bayangkan, Ratu berumur 91 tahun, Pangeran berusia 69 tahun. Namun, takhta tiada kunjung disuksesi.

Lalu, bagaimana pemimpin di negeri ini?
Saya pikir sejumlah nama kiranya tidak berhasrat lagi menjadi presiden.

Mereka ialah Megawati Soekarnoputri, sedikit hari lagi berumur 71 tahun, dua kali kalah dalam pilres.

Amien Rais menjelang 74 tahun.
Ia sekali maju capres kalah, bahkan tidak lolos putaran kedua.

Wiranto menjelang 71 tahun.

Ia pun masuk kategori ini karena sepertinya ikhlas menerima realitas.
Realitas itu ialah maju capres kalah, maju cawapres kalah, dan kini menjadi pembantu presiden sebagai Menko Polhukam.

JK menjelang 76 tahun, pernah menjadi capres dan kalah.

Sejauh ini dia satu-satunya anak bangsa yang dua kali menjadi wapres.

Hemat saya, JK pun tidak berhasrat lagi menjadi capres.

Wapres dua kali lebih dari cukup dan pula konstitusi tidak lagi mengizinkannya.

Perubahan pertama UUD 1945 jelas berbunyi, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

SBY, 68, pun sudah dua kali masa jabatan terpilih sebagai presiden.

Sekalipun usianya lebih muda daripada empat tokoh nasional tersebut, sekalipun partainya berhasrat mengusungnya kembali menjadi presiden, konstitusi tidak memungkinkannya.

Prabowo Subianto lebih muda lagi, berusia 66 tahun.

Ia baru sekali maju sebagai cawapres, kemudian capres.

Sekali kalah dalam pilpres belum ukuran.
Karena itu, Prabowo amat mungkin diusung kembali menjadi capres.

Maka, sejauh ini sepertinya bakal terulang kembali kontes dan kompetisi capres pada 2014 karena Jokowi bakal dicalonkan kembali.

Partai NasDem, misalnya, telah resmi memproklamasikan mengusung kembali Jokowi.

Sejauh ini yang belum terjawab ialah siapa yang menjadi cawapres.

Posisi wakil presiden itu bahkan bisa menjadi masalah krusial karena banyak yang merasa pantas dan cakap duduk di kursi itu, terlebih untuk mendampingi petahana, Presiden Jokowi.

Fenomena tahun politik 2018 dan 2019 ialah posisi wakil.

Itu merupakan urusan besar sebagaimana ditunjukkan dalam pilgub di Jawa.

Berkaca di cermin bisa saja tampak diri yang terlihat pantas dan cakap serta saham partai yang signifikan, tetapi tidak disepakati untuk dijadikan cawapres, sehingga koalisi pecah membentuk konfigurasi baru.

Play to win kiranya semboyan yang perlu dipegang dalam pilkada ataupun pilpres.
Bukan play for selfish.

Bangsa ini perlu pemimpin nasional, bukan selebritas politik yang gemar mejeng unjuk diri yang jumlahnya sudah kebanyakan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.