Mengganti sebelum Diganti

282

SEHARI setelah Presiden Jokowi mengajukan nama KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto kepada DPR sebagai pengganti Panglima TNI, terjadilah mutasi dan promosi perwira tinggi dalam jajaran TNI yang dilakukan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang bakal diganti.
Pertanyaannya, etiskah itu? Tidakkah lebih bijak bila mutasi dan promosi perwira tinggi itu dilakuan Panglima TNI yang baru?

Pertanyaan itu tidak ada urusan dengan kewenangan dan keabsahan. Jenderal Gatot masih Panglima TNI. Karena itu, sepanjang semua persyaratan dipenuhi dan prosedurnya benar, dia sahih melakukan mutasi bahkan promosi. Akan tetapi, setidaknya dalam pandangan kepublikan saya, mutasi/promosi yang dilakukan dalam last-minute jabatan, yaitu di saat-saat terakhir masa jabatan, bukan keputusan kepublikan yang elok.

Kenapa? Karena layak ditengarai peran personalitas bekerja dalam pembuatan keputusan itu. Sebanyak 85 perwira tinggi TNI dimutasi/promosi. Bukan jumlah yang sedikit, yang dilakukan Jenderal Gatot dalam surat keputusan yang ditandatanganinya pada 4 Desember 2017, yaitu satu hari setelah Presiden Jokowi menandatangani surat usulan pergantian Panglima TNI pada 3 Desember.

Pusat Penerangan TNI menyebut mutasi itu dalam rangka kebutuhan organisasi dan pembinaan karier. Dua perkara berdimensi proyektif, ke depan yang lebih merupakan urusan panglima baru, sang pengganti, bukan yang digantikan, sang mantan.
Alasan dalam rangka kebutuhan organisasi dan pembinaan karier ialah alasan yamg selalu dipakai sehingga maaf menjadi klise.

Seorang panglima dalam masa jabatan yang normal menggunakan alasan klise itu tidak menimbulkan risih di telinga publik. Namun, menjadi amat janggal ketika dipakai sebagai alasan ketika jabatannya dalam ‘last-minute’. Saya sekurang-kurangnya risih dan mengekspresikannya dalam forum ini.

Perwira tinggi menyandang kehormatan tinggi dan tentu tanggung jawab besar. Berhasil menembus batas kolonel merupakan promosi hebat dan serentak dengan itu sang perwira tinggi nyaris tidak boleh bermimpi jenderal berbintang empat. Karena itu, ketika mencapai bintang tiga bahagia berada di tapal batas ‘terakhir’.

Dalam suatu perjalanan ke Riau, dalam rangka latihan militer bersama dengan angkatan perang Singapura, di pesawat Hercules milik TNI-AU, seorang perwira tinggi bilang, “Saya bahagia masuk letnan, keluar letnan.” Saya tersenyum. Letnan terakhir yang dimaksud letnan jenderal.

Dia ialah Kasum ABRI Letnan Jenderal Dading Kalbuadi. Saya reporter yang meliput. Dading perwira tempur. Cuplikan kata-katanya itu semata hendak mengingatkan bahwa pangkat perwira tinggi bukan untuk dibagi-bagi dalam masa last-minute pemangku jabatan yang berwenang memberi.

Kalimat pedas itu harus saya sampaikan karena tingginya rasa hormat kepada perwira tinggi dan rasa khawatir bahwa mutasi dan promosi perwira tinggi dalam last-minute terjadi dalam lingkungan mikro yang berkemungkinan karena faktor ‘kecocokan’. Pejabat publik dalam last-minute menjelang ia diganti sebaiknya tidak mengambil keputusan yang sedikit atau banyak bersifat permanen.

Tidak mengganti orang lain karena diri sendiri mau diganti. Tidak mempromosikan orang karena waktunya untuk pemimpin baru melakukannya. Itu sebuah moral kecil, tetapi kiranya bermakna sebagai contoh kepemimpinan.
Pemimpin sepatutnya meninggalkan pembelajaran publik kepada pemimpin berikutnya.

Sebuah perkara yang kian langka di tengah kian perlunya pemimpin sebagai guru bangsa.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.