Blink (Nazaruddin)

271

SEMUA kita tahu tidak baik memuji seorang koruptor. Korupsi tergolong kejahatan kepublikan yang berat, sangat berat, karena itu koruptor mestinya dihujat habis-habisan. Bukan malah dipuji. Entah kenapa kemarin tiba-tiba ‘terbetik’ di dalam pikiran saya untuk memuji seorang koruptor.

Namanya M Nazaruddin. Perihal ‘terbetik’ sebetulnya tidak perlu dipikir benar, apalagi berkelanjutan. Umumnya berlalu tanpa bekas. Akan tetapi, kali ini tidak demikian di dalam pikiran saya, untuk seorang Nazaruddin. Barangkali inilah yang disebut Malcolm Gladwell sebagai ‘blink’, yaitu 2 detik pertama yang sangat menentukan yang muncul dari ‘komputer internal’ kita.

Katanya, keputusan yang dibuat dalam sekejap bisa sama baik dengan keputusan yang hati-hati dan direnungkan kembali. The power of thinking without thinking. Alkisah, di tengah kehebohan dagelan kecelakaan lalu lintas Setya Novanto, di WA beredar video Nazaruddin ngomong kepada wartawan, beberapa tahun lalu.

Tutur katanya jelas dan isinya gamblang membongkar siapa otak proyek KTP-E dan siapa saja pelaksananya. Katanya, sebelum ditender, proyek KTP-E sudah di-mark-up Rp2,5 triliun. Spec-nya diatur. Yang mengendalikan penuh proyek KTP-E ialah Setya Novanto sama Anas Urbaningrum.

“Siapa pelaksananya? Ada saya, ada Andi Agustinus. Siapa saja yang terlibat di Komisi DPR? Pimpinan Komisi II. Nama-namanya tanya sama penyidik KPK nanti biar lebih jelas. Terus di depdagrinya siapa? Ada mendagrinya.” Kembali menonton tayangan omongan Nazarudin itu, seorang rekan wartawan senior berkomentar, makin sempurnalah persekongkolan koruptor.

Rekan lainnya bilang, mau muntah enggak? Saya sendiri tiba-tiba terkena ‘blink’. Setelah Setya Novanto ditahan, kepercayaan Nazaruddin kepada KPK kian menggelora. “Saya siap untuk bantu KPK dalam semua kasus yang saya tahu dan saya tidak mau tambah-tambahin, tidak mau kurang-kurangin.

Semuanya sudah saya ceritakan sama KPK.” Bahkan, Nazaruddin mengaku melihat Ganjar Pranowo menerima uang proyek KTP-E. Nazaruddin bukan justice collaborator biasa. Dia justice collaborator istimewa. Dia tidak punya rasa takut untuk membongkar kasus, termasuk membeberkan peranannya.

Hemat saya, dalam negative sense, Nazaruddin ialah pahlawan KPK. Nazaruddin pernah melarikan diri. Suatu hari dia ke Singapura, hari lain ke Bogota, Kolombia. Di Cartagena, di negara yang sama ia ditangkap. Selebihnya publik menyaksikan kenekatannya ‘nyanyi’ menunjuk hidung tokoh yang terlibat korupsi.

Bagaimana dengan Setya Novanto yang menurut Nazaruddin salah seorang pengendali penuh proyek KTP-E? Seandainya pun punya kesempatan untuk melarikan diri, saya tidak percaya Setya Novanto melakukannya. Kenapa? Pertama, dia sangat mencintai semua kedudukan dan kekuasaannya selaku Ketua Umum Golkar yang juga sekaligus Ketua DPR.

Jabatan terakhir itu pernah diduduki Ade Komarudin, kemudian dengan mulus diambilnya kembali. Kedua, Setya Novanto yakin mampu membuktikan diri bahwa dia tidak bersalah. Dia berhasil mematahkan status tersangka yang pertama. Perlawanannya terhadap status tersangka yang kedua belum kesampaian, ia ditahan KPK.

Penahanan didahului dengan drama dirinya korban kecelakaan lalu lintas yang ternyata sakit yang dideritanya hanya dagelan. IDI menunjukkan integritas dokter dan keteguhan menegakkan etik profesi dokter. Di ruang tahanan Setya Novanto kiranya masih bergumul dengan rasa cintanya kepada kekuasaan.

Namun, ‘blink’ bukan mustahil suatu saat datang dari ‘komputer internalnya’, ketika dirinya harus menjawab pertanyaan untuk apa menjadi korban sendirian? Blink, dalam sekejap, dalam 2 detik, the power of thinking without thinking, kemampuan berpikir tanpa berpikir, mengubah semuanya.

Dunia persilatan elite politik kiranya geger besar jika Setya Novanto berubah pikiran, yaitu dalam negative sense menjadi pahlawan KPK seperti Nazaruddin. Ia beberkan semua kasus dan telanjangi semua orang yang mendapat aliran uang sampai publik ternganga betapa bajingannya elite bangsa.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.