Tamu Dilarang Membawa Tas

330

WALI Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo memberlakukan ketentuan unik, yaitu melarang tamunya membawa tas ketika bertemu dengannya. Larangan itu berlaku di kantor ataupun di rumah. Di pintu masuk menuju ruang wali kota, di kompleks Balai Kota Surakarta, disediakan loker untuk tamu menyimpan tas.

Ketentuan tamu dilarang membawa tas itu semula hanya untuk wali kota, lalu diterapkan juga untuk wakil wali kota dan sekda. Wali Kota Rudy, demikian ia dipanggil, tak berhenti sampai di situ. Ia kemudian memperluas ‘moral’ itu hingga ke tingkat kelurahan. Kepada lurah dan camat, ia berpesan agar berhati-hati menerima tamu.

“Tasnya suruh ditinggal saja.” Pemicu lahirnya larangan membawa tas itu ialah KPK menangkap tangan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko. Wali Kota Surakarta mengatakan ia tidak takut karena tidak korupsi. Dalam bahasanya sendiri, “Tapi antisipasi diri dari jebakan orang lain itu perlu.” Karena itu, ia tidak ambil pusing jika dinilai berlebihan.

Hemat saya, larangan tamu membawa tas itu justru pertanda Wali Kota Rudy rendah hati. Sebuah bentuk pengakuan bahwa manusia bukan malaikat yang suci selamanya. Karena itu, orang perlu mencegah diri dari godaan, perlu mengantisipasi diri dari jebakan orang lain. Apakah orang bersih bisa dijebak? Kiranya batu sandungan hanya untuk orang bersih.

Penjebak memanipulasi kalimat bijak, ‘Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima’. Lagi pula, untuk apa menjebak orang kotor? Mereka tidak perlu dijebak. Koruptor merasa dirinya ‘terlatih’ menyiasati sandungan. Di situ ada tinggi hati, jemawanya kekuasaan. Lupa perihal ‘sepandai-pandai tupai melompat…’, akhirnya tersandung batu cadas OTT KPK.

Pertanyaannya, dari manakah kekuasaan dengan rendah hati datang? Saya mengira barangkali sumbernya pengertian yang mendalam bahwa orang tidak tahu apa yang terjadi ‘besok’. Tidak terkecuali orang berkuasa seperti kepala daerah. Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, misalnya, hari itu masih ber-WA ria dengan seorang teman, seniman terkenal, sebelum ia ditangkap KPK.

Karena orang tidak tahu apa yang terjadi ‘besok’, antara lain berupa tamu membawa setumpukan uang valas di dalam tasnya, Wali Kota Surakarta Rudy memutuskan tamunya dilarang membawa tas saat bertemu dengannya. Pertama, bukankah menyuap dengan uang tunai telah menjadi modus untuk menghindarkan diri dari tertangkapnya aliran dana oleh PPATK? Padahal, uang tunai itulah bukti keras bagi KPK dalam OTT.

Kedua, yang lebih substansial, saya pikir Wali Kota itu bukan saja menghindari diri dari jebakan, tetapi yang lebih dalam, selaku orang yang berkuasa ia tidak ingin menguji diri sendiri. Ia tidak ingin berkata kepada penyuap, “Ujilah aku, orang suci ini, wali kota yang berintegritas ini.” Ia justru memproklamasikan kepada publik, “Aku manusia biasa, yang bisa dijebak.

Jangan bawa tas ketemu aku, wali kota.”
Secara sempit, Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo sedang menjaga dirinya sendiri. Secara luas, dapat dimaknai ia melaksanakan pencegahan korupsi, yang merupakan salah satu tugas pokok KPK. Sebuah tugas besar yang ‘tenggelam’ oleh operasi penindakan, di tengah kenyataan bahwa pencegahan korupsi belum menjadi kesadaran kolektif.

Korupsi ialah memperlakukan kepunyaan negara sebagai miliknya sendiri. Orang berusaha memaksimumkan kesejahteraannya sendiri. Kira-kira, orang boleh ‘menyantapnya’ tanpa memeriksa keberatan-keberatan hati nurani. Wali Kota Surakarta menunjukkan bahwa upaya memeriksa keberatan-keberatan hati nurani itu dapat diekspresikan dalam perkara ‘kecil’, yaitu melarang tamu ketemu dirinya membawa tas.

Tidak muluk-muluk. Anggaran negara untuk pencegahan korupsi itu cukup seharga membeli loker saja.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.