Lebih Percaya Buaya atau Hantu

319

TERUS terang saya suka dengan ‘imajinasi’ Kepala BNN Komjen Budi Waseso tentang penjara yang tak mempan disogok pengedar narkoba. Penjara itu dikelilingi kolam yang berisi ‘sipir’ piranha atau buaya. Baru kemudian dijaga manusia. Buaya sebagai sipir lebih bisa dipercaya ketimbang manusia. Buaya tidak bisa diajak kompromi. Buaya tidak bisa diajak kerja sama oleh pengedar narkoba. Tidak bisa disogok.

Sang jenderal kesal karena begitu buruknya integritas sipir. Mereka bisa dibeli dengan uang hasil perdagangan gelap narkoba. Magnitude-nya dramatis, 50% peredaran narkoba di Indonesia dikendalikan dari balik jeruji besi. Menurut sang jenderal, selama ini sipir-sipir berengsek itu selamat. Bukan pernyataan hampa. Lebih dari 10 tahun lalu, melalui investigative reporting, dua reporter perempuan harian ini telah membongkar perihal transaksi narkoba di LP Cipinang.

Namun, baru di masa Komjen Budi Waseso sebagai Kepala BNN perdagangan narkoba di penjara mendapat perhatian dan tindakan keras. “Sekarang, saya kejar terus,” katanya. Selain mengusulkan buaya sebagai sipir, Kepala BNN itu memberi alternatif hantu sebagai penjaga penjara. Seperti buaya, kayaknya ‘makhluk halus’ pun tak bisa disogok.

Kecuali di penjara ada yang berkeahlian pawang buaya sekaligus pawang hantu sehingga kedua makhluk itu dibikin tak berkutik menghadapi peredaran narkoba yang dikendalikan dari penjara. Penjara merupakan arena sangat tertutup dan terjaga ketat. Itu prinsip pokok. Bahwa di situ sampai ‘melembaga’ transaksi narkoba puluhan tahun kiranya menunjukkan betapa korupnya aparatur negara yang bertugas di situ.

Narkoba barang jahat, tapi uangnya rupanya terasa enak sekali dalam kehidupan (oknum) sipir sehingga kejahatan di penjara terbungkus sangat rapi. Narkoba mesin penghasil uang. Ia bahkan modus pencucian uang yang kiranya tak terdeteksi PPATK. Bukan mengada-ada menduga berbagai penjara berfungsi sebagai sentra-sentra pencucian uang, sedemikian rupa sampai-sampai 50% peredaran narkoba bisa disetir dari balik tembok penjara.

Tidak berlebihan mengatakan penjara bukan bagian solusi persoalan sehingga disebut ‘lembaga pemasyarakatan’. Itu ‘lembaga persoalan’, tempat kian melembaganya kejahatan. Selain kejahatan narkoba, di situ terhimpun ‘perlawanan’ beramai-ramai menjebol penjara.

Penjebolan penjara berulang terjadi dan berulang pula kepala penjara seketika dicopot dari jabatannya. Akan tetapi, hukuman itu semata penghakiman untuk person, kepala penjara, tidak menyentuh persoalan sistemis yang ‘hidup’ di penjara, yaitu berbagai komodifikasi/monetisasi rupa-rupa jasa dalam penjara mulai kemudahan menjenguk, ekstra fasilitas untuk orang-orang istimewa, sampai terbukanya kesempatan berkomunikasi melalui telepon seluler dengan menyogok.

Kemudahan berkomunikasi digital dengan dunia luar itu tentu termasuk dengan jejaring narkoba. Dalam perkara itu sesungguhnya mereka seperti manusia bebas. Hemat saya, sepanjang terpidana narkoba dapat berponsel, sepanjang itu transaksi narkoba kiranya tak bisa diberantas. Tak bisa, sekalipun buaya dan hantu tak mempan disogok. Mereka tak paham ber-WA atau berinternet.

Buaya dan hantu lebih dipercaya sebagai sipir ketimbang manusia merupakan kritik keras. Ekspresi kekesalan Komjen Budi Waseso itu mestinya melecut Dirjen Lembaga Pemasyarakatan untuk tuntas membereskan dan membersihkan penjara. Jika di penjara yang terkurung tembok tinggi narkoba tak bisa diberantas, apalagi di tengah masyarakat yang terbuka.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.