Sumpah atau Sampah
APAKAH pengucapan sumpah/janji jabatan penting? Jawabnya tidak.
Kenapa?
Karena pengucapan sumpah/janji jabatan tak lebih, tak kurang, cuma seremonial ketatanegaraan.
Kesimpulan itu setidaknya berlaku untuk pengucapan sumpah/janji jabatan pimpinan Dewan Perwakilan Daerah yang dipandu Wakil Ketua Mahkamah Agung Suwardi.
Hal itu sesuai dengan putusan PTUN Jakarta yang menyatakan pengucapan sumpah/janji jabatan pimpinan DPD itu bukan tindakan administrasi negara dan bukan tindakan yudisial, melainkan sebatas tindakan seremonial ketatanegaraan.
Dengan alasan itu PTUN tidak dapat menerima gugatan perkara pengucapan sumpah Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai Ketua DPD, Nono Sampono dan Darmayanti Lubis sebagai Wakil Ketua DPD, yang diajukan GKR Hemas, Wakil Ketua DPD yang tergusur.
Putusan PTUN itu menelan bulat-bulat pendapat Yusril Ihza Mahendra yang menjadi saksi ahli tergugat Mahkamah Agung.
Sebaliknya, hakim PTUN mengabaikan bulat-bulat pandangan mantan Ketua MA Bagir Manan yang menjadi saksi ahli penggugat GKR Hemas.
Bagir berpendapat kepemimpinan OSO, Nono, Darmayanti tidak sah karena tindakan Wakil Ketua MA Suwardi yang memandu sumpah jabatan mereka bertentangan dengan putusan yang dibuat MA sendiri, yang membatalkan tata tertib DPD yang memangkas masa jabatan pimpinan DPD menjadi 2,5 tahun.
Dengan melakukan pemanduan sumpah jabatan, demikian Bagir, MA telah meniadakan hukum yang dibuat MA sendiri.
Bagir juga berpendapat, menurut Pasal 260 ayat 6 UU No 17 Tahun 2014, yang memandu sumpah jabatan itu Ketua MA.
Faktanya yang memandu Wakil Ketua MA.
Karena itu, tidak sah.
Hakim PTUN nyatanya lebih mendengar pandangan Yusril, yang menyelamatkan MA dari gugatan.
Masuk akal sebab nasib hakim PTUN itu ditentukan pejabat MA sekarang yang sedang berkuasa, bukan ditentukan Bagir Manan yang telah menjadi mantan ketua MA.
Namanya mantan, tak bergigi lagi.
Akan tetapi, etiskah MA meminta pandangan Yusril? Sebelah kaki Yusril ialah pakar hukum.
Kaki lainnya pengacara yang berkepentingan membela kliennya di pengadilan terendah hingga ke MA.
Dari sisi konflik kepentingan, kiranya tidak bijaksana, tidak elok, untuk membela dirinya di pengadilan, MA menjadikan saksi ahli seorang pakar yang juga pengacara.
MA seyogianya memakai murni pakar hukum dari perguruan tinggi sebagai saksi ahli.
Ada pertanyaan praksis.
Dengan apa MA membayar honor Yusril?
Dengan dana APBN?
Dari kas MA?
Semua hakim agung urunan?
Ataukah gratisan dari sisi MA, alias pro bono dari sisi Yusril?
Tidak ada makan siang gratis.
Sepatutnya publik mencurigai, bahwa success fee Yusril itu ditabung sebagai ‘utang budi’ MA.
Setelah tidak berdaya di PTUN, ke manakah Gusti Kanjeng Ratu Hemas mengadu?
Sebaiknya pemaisuri Sultan Yogya itu berhenti menggugat keabsahan jabatan OSO, Nono, Darmayanti yang menggusurnya.
Berhentilah sekalipun ada pakar hukum yang berpandangan bahwa PTUN tidak dapat menerima gugatan, bukan berarti OSO legal.
Katanya ilegalitas kepemimpinan OSO masih berlanjut.
Khusus buat Ratu Hemas, berkepanjangan ngotot menggugat jabatan itu kiranya bakal mengurangi rasa hormat kepada seorang permaisuri, yang juga istri gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sulit untuk memercayai perkataan, “Kami bukan mencari jabatan. Tapi bagaimana kami meluruskan yang sudah diputuskan oleh MA.”
Energinya lebih baik dikerahkan untuk menyuarakan dan merealisasikan aspirasi daerah, ketimbang terus mempersoalkan legalitas jabatan OSO, Nono, Darmayanti.
Ratu Hemas telah tiga kali pemilu (2004, 2009, 2014) dipilih rakyat Yogya menjadi anggota DPD.
Rasanya itu lebih dari cukup.
Pada Pemilu 2019, seyogianya kursi itu dilepaskan untuk diperebutkan oleh rakyat biasa.
Lagi pula, jabatan pimpinan DPD bukan lagi jabatan terhormat sebagaimana mestinya publik mencandrakannya.
Pemandu ialah penunjuk jalan, kecuali pemanduan sumpah/janji jabatan pimpinan DPD yang dinyatakan PTUN tidak termasuk dalam aktivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Sumpah itu telah turun derajat, tinggal tunggu waktu saja DPD menjadi dewan sumpah serapah, bahkan keranjang sampah.
Bagi Ratu Hemas, di Keraton Yogya tidak kekurangan seremoni ‘ketatanegaraan’ dan ritual kultural yang sakral, yang bijak dipelihara, antara lain demi mengembalikan takhta untuk rakyat, sebagaimana diemban Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.