Saya Dizalimi
RAMALAN mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD tentang mereka yang tertangkap tangan KPK sepenuhnya benar.
Kebenaran itu bahkan terbukti dalam tempo singkat.
Berkaitan dengan tertangkap tangannya hakim MK Patrialis Akbar, kepada Metro TV Mahfud mengatakan mereka yang tertangkap tangan oleh KPK 100% masuk penjara.
Pihak yang tertangkap tangan biasanya membantahnya, mengatakan dizalimi.
Setelah KPK membuka bukti-bukti, mereka diam.
Patrialis Akbar membuktikan pernyataan Mahfud MD itu.
Setelah diperiksa KPK, Jumat (27/1) dini hari lalu, Patrialis membantah tuduhan KPK.
“Saya mengatakan saya hari ini dizalimi karena saya tidak pernah terima satu rupiah pun dari Pak Basuki.”
Basuki Hariman ialah pengusaha impor daging, yang menurut KPK punya 20 perusahaan.
Patrialis tertangkap tangan KPK berkaitan dengan uji materi UU Nomor 14 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Orang yang dizalimi ditengarai bakal mengundang simpati.
Persepsi publik diharapkan berpihak kepadanya.
Membahasakan diri sendiri dizalimi merupakan senjata untuk mengeduk hati publik, bahwa telah terjadi penistaan terhadap kebenaran.
Mahfud rupanya mengamati betul ihwal senjata menyatakan diri dizalimi itu, yang kemudian memang terbukti disuarakan sendiri oleh Patrialis Akbar, ‘saya dizalimi’.
Padahal, yang sedang disangkakan kepadanya justru dialah yang melakukan penzaliman terhadap lembaga tinggi negara.
Penzaliman luar biasa berat karena dilakukan hakim yang seharusnya menjaga dan mengawal konstitusi.
Masuk akal kalau penzaliman oleh pengawal konstitusi itu diusulkan agar diganjar hukuman sangat berat, hukuman seumur hidup, seperti yang diterima mantan Ketua MK Akil Mochtar dalam kasus pilkada.
Setelah tertangkap basah oleh KPK, mestinya mandi saja sekalian, dalam arti akui sajalah semua perbuatan yang busuk itu.
Tidak masuk akal orang yang pernah menjadi anggota DPR, menteri hukum dan HAM, dan hakim MK tidak tahu bahwa dirinya telah melakukan korupsi dan mencoba menyangkalnya dengan menyebut dirinya dizalimi.
Sesungguhnya, mencoba mengeduk simpati publik dengan menyebut diri dizalimi malah kian memperkuat penilaian yang sebaliknya.
Setelah nasi menjadi bubur, apakah perlunya penyangkalan verbal?
Mengadili itu dengan kebenaran.
Bukan dengan kepalsuan. Seorang hakim konstitusi tahu benar makna pernyataan itu.
Penyangkalan kebenaran di luar pengadilan dengan membahasakan diri dizalimi samalah dengan perbuatan tangan menangkap angin.
Seakan terasa sejuknya hasil tangkapan, padahal semuanya terbang tak terlihat.
Perbuatan sia-sia.
Masifnya pejabat publik tertangkap basah oleh KPK pertanda korupsi tetap parah.
Orang tetap berani korupsi, atau kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu bahwa banyak yang telah tertangkap basah.
Kalau toh terjadi terhadap diri sendiri, katakan saja ‘saya dizalimi’.
Enteng benar urusan, menunjukkan tiada penyesalan.
Berikut anjuran kepada koruptor yang siapa tahu bakal tertangkap basah. Jangan katakan ‘saya dizalimi’.
Biarlah Patrialis Akbar yang terakhir.
Untuk tidak membohongi publik, serta mempercepat pemeriksaan KPK yang tentunya melelahkan, begitu selesai diperiksa KPK, bilang saja terus terang kepada publik, “Saya memang korupsi.
Saya tidak akan naik banding, tidak juga kasasi. Saya ikhlas dihukum seberat-beratnya.”
Dengan begitu, Anda membuat peradilan yang cepat, efisien, dan efektif, hal yang langka di negeri ini.
Anda berhemat, tak perlu membayar pengacara. Lagi pula, bila uang korupsi enak, hukumannya pun harus dirasakan ‘enak’.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.