Berpikir Panjang

253

SEKRETARIS Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Helmy Faishal Zaini, menanggapi keadaan bangsa dan negara akhir-akhir ini, mengatakan setiap pemimpin perlu lebih menahan diri dan berpikir panjang.

Kita membutuhkan pemimpin yang mempersatukan dan tidak membuat keresahan.

Tidak sepantasnya apabila seorang pemimpin mengeluarkan kata-kata yang tak pantas.

Pendapat itu mengandung nasihat.

Bahwa pemimpin masih perlu dinasihati, kiranya hal yang memprihatinkan.

Akan tetapi, untunglah masih ada pemimpin yang pantas menasihati, tergerak menasihati, dan berani menasihati pemimpin.

Menahan diri dan berpikir panjang merupakan dua perkara yang dapat berdiri sendiri, dapat pula berkaitan.

Untuk anak bangsa yang dalam relasinya dengan pemimpin merupakan anak buah/pengikut, berhasil ‘menahan diri’ tidak selalu bertautan dengan ‘berpikir panjang’.

Sebaliknya, mereka yang disebut pemimpin. Mereka bisa menahan diri karena berpikir panjang atau karena berpikir panjang, dapat menahan diri.

Di tingkat anak buah, menahan diri merupakan urusan pengendalian emosi. Baik emosi personal maupun emosi kolektif.

Berkemungkinan terjadi person lebih tak kuasa menahan diri, justru karena berada dalam ikatan kolektif.

Dalam perkara itu, pemimpin diperlukan untuk mengendalikan.

Karena itu, celakalah bila sang pemimpin justru yang membuat keresahan, yang masih perlu dinasihati agar mengendalikan diri dan berpikir panjang.

Yang mestinya menasihati, malah masih perlu dinasihati.

Dalam hal berpikir panjang, orang menimbang baik dan buruk, maslahat dan mudarat, bahkan untung-rugi.

Jika menyangkut kepentingan pribadi atau kelompok, bukan mustahil yang terjadi malah sebaliknya, berpikir pendek.

Karena itu, sang pemimpin perlu diingatkan agar menahan diri dan berpikir panjang.

Sejatinya pemimpin di tingkat nasional telah jauh meninggalkan perihal pengendalian diri.

Mereka tidak lagi berurusan dengan emosi, tapi inner space, interior batin.

Sudah lampau perbandingan maslahat dan mudarat, apalagi untung dan rugi untuk kepentingan diri dan kelompok.

Bahkan, rela berkorban untuk bangsa dan negara.

Mereka tidak lagi di tataran mengendalikan diri dan berpikir panjang, tetapi berjiwa besar dan berpikir besar.

Dalam bahasa lain, di titik itu orang berbicara pemimpin sebagai negarawan.

Pemimpin untuk semua anak bangsa, tanpa pandang bulu.

Berapa banyak pemimpin jenis itu?

Kiranya sangat langka, bahkan dibandingkan dengan di zaman awal kemerdekaan, di masa Mr M Roem yang muslim bersahabat dengan Ignatius Joseph Kasimo yang Katolik.

Spekulatif, kiranya yang banyak pemimpin yang masih perlu mengendalikan diri dan berpikir panjang.

Spekulasi yang menyakitkan, tetapi harus diterima tanpa perlu repot-repot membuktikannya dengan survei yang canggih.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.