Banjir dan Kecerdasan

329

BANJIR yang melanda Bandung menimbulkan keprihatinan besar setidaknya karena dua hal pokok. Pertama, di situ markas orang-orang hebat di bidang teknologi. Kedua, di situ ada wali kota hebat yang kian hari kian merebut hati publik. Banjir dapat diatasi dengan teknologi, apakah itu mengeruk sungai, membangun drainase, membuat waduk, membuat resapan air. Sebutlah apa saja yang diperlukan dari sudut pandang teknologi, semuanya dengan mudah terjawab di Bandung.

Kenapa? Karena di kota itu menjulang tinggi ITB, pusat kecerdasan teknologi, baik ilmu maupun aplikasinya. Di situ bukan hanya lahir insinyur dalam arti pertukangan tingkat tinggi. Di kampus itu mengabdi pemikir-pemikir ilmu dan teknologi yang tahu betul kenapa Bandung dilanda banjir, bahkan dapat ‘membacanya’ sebelum terjadi. Sesungguhnya, banjir urusan ‘kecil’. Karena itu, secara subjektif, saya terusik oleh perkara besar. Apakah tidak ada relasi antara center of excellence, pusat kecerdasan yang bernama ITB itu, dan lingkungannya, dan kotanya, dan ekosistemnya?

Saya alumnus UGM. Saya pun terusik oleh perkara besar, melihat Kota Yogyakarta semrawut. Selalu tercetus pertanyaan yang sama, kenapa pusat kecerdasan itu seperti tiada berhubungan, apalagi ‘bersaudara’, dengan kota kediamannya? Perguruan tinggi kiranya tidak boleh diandaikan punya hubungan kecerdasan dengan kota tempat tinggalnya sebagai sebuah sistem. Keduanya berjalan sendiri-sendiri. Bahkan dengan kecuekan masing-masing. Pemerintah kota sebuah dunia, perguruan tinggi pun sebuah dunia.

Bahwa keduanya ‘bertemu’ di dalam sebuah dunia yang sama yang bernama banjir, itu cuma sebuah peristiwa kebetulan. Keduanya pun sepertinya tidak saling ‘bersapa’ untuk memikirkannya, untuk meng atasinya. Wali kota Bandung Ridwan Kamil pujaan publik, bahkan publik di luar Bandung. Wali kota itu mengaku bingung perihal banjir yang terjadi di Jalan Pagarsih. Katanya, Pemerintah Kota Ban dung telah memperbesar saluran air di kiri dan kanan jalan itu, dengan lebar masing-masing 2 x 2 meter.

Tapi kenapa air bisa meluap ke jalan? Wali Kota tidak bisa menjawabnya. Wali kota Ridwan Kamil dengan jujur bahkan berkata, “Kami juga tidak terlalu paham secara ilmiah karena berbulan-bulan juga kan enggak banjir. Tetapi, pas kemarin, ada situasi yang menyebabkan itu.” (Kompas.com, Selasa, 25/10). Pak Wali tidak bisa menjawabnya. Kenapa tidak ‘bertanya’? Bukankah di Bandung banyak warga kota bergelar doktor dan profesor yang bisa ‘menjawabnya’? Sebaliknya, apakah pusat kecerdasan itu hanya akan ‘bersuara’ bila ‘ditanya’ pusat kecerdasan di pemerintahan kota?

Kota Bandung ialah sebuah pusat peradaban, dulu maupun sekarang. Kota itu pusat kecerdasan, dulu dan sekarang. Namun, layak dipersoalkan, bagaimana besok, apalagi lusa. Banjir yang melanda kota itu, apalagi kalau terjadi lagi dan lagi, menyuruh semua pernyataan perihal kecerdasan itu harus dipikirkan ulang karena kedua kecerdasan itu tidak saling berhubungan, saling cuek.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.