JK sebagai Ban Serep

283

WAKIL Ketua DPR Fadli Zon mengkritik keras Presiden Jokowi. Katanya, selama dua tahun Jokowi bekerja sendirian, one-man show. Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla ban serep saja. Ia seperti tidak terpakai. Padahal, katanya, JK memiliki kemampuan luar biasa dan berpengalaman dalam beberapa kali pemerintahan. Fadli Zon ialah salah seorang pemimpin Partai Gerindra, partai oposisi.

Karena itu, wajarlah ia bersuara pedas mengecam Jokowi. Tak hanya lauk-pauk, hidup bernegara pun perlu yang pedas-pedas. Kritik yang dilontarkan Fadli Zon, wapres sebagai ban serep, kiranya topik yang selalu muncul dalam tiap pemerintahan setelah reformasi. Di zaman Pak Harto, tidak relevan mempersoalkan wapres sebagai ban serep. Wapres ada hanya demi kepantasan konstitusi, sekalipun wapresnya sekaliber Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan sekelas Adam Malik. Di zaman Bung Karno, presiden menjulang tinggi sendirian dengan impian-impian hebatnya, meninggalkan wapres sebesar dan sehebat Bung Hatta yang komit berdemokrasi. Dwitunggal pecah, Bung Hatta mengundurkan diri. Bung Karno terus sendirian tanpa wapres sampai ia digulingkan tentara dan Angkatan 66. Pada 1999, sekalipun modal politik PDIP lebih besar daripada modal politik PKB, Wapres Megawati Soekarnoputri ditinggalkan begitu saja oleh Gus Dur, sang presiden. Kala itu wapres ban serep betulan, yaitu betulan menggantikan ban utama yang dikempiskan, dilengserkan MPR.

Wapres yang bukan ban serep kiranya terjadi semasa pemerintahan SBY-JK (2004-2009). JK bergerak tangkas mengambil kepu tusan. Dalam suatu kesempatan, seorang mantan menteri di masa itu bercerita, untuk urusan urgen, yang memerlukan ke putusan cepat, ia datang ke JK. Mengapa JK sehebat itu? Selain faktor umur, 60-an, JK ditengarai punya saham dan modal yang sama signifi kannya dengan SBY dalam memenangi pilpres.

Akan tetapi, wapres macam itu tidak pas lagi untuk masa kekuasaan SBY berikutnya. Boediono yang tahu diri sebagai wakil, lebih pas. Tidak aneh kalau ada yang menilai ia ban serep. Untunglah tidak terjadi ‘kecelakaan’ konstitusional sehingga wapres tidak menjadi ban serep betulan menggantikan ban utama. SBY mulus menjadi presiden RI selama 10 tahun.

JK yang sekarang, 74, sebagai wapres, bukan wapres yang dulu.

Hemat saya, partai pengusung Jokowi menjadikannya wapres karena senioritasnya dalam kancah nasional. Lagi pula, Jokowi memang cepat mengambil keputusan. Untuk itu, menteri tidak perlu lagi datang ke wapres sekalipun orangnya sama. Tulisan ini memang membela Jokowi-JK. Bahkan, hemat saya, selama isi konstitusi mengenai kedudukan dan fungsi wapres tidak diubah, selama itu pula topik wapres sebagai ban serep se akan abadi. Kenapa? Karena memang, dari sudut pandang konstitusi, wapres sepenuhnya terhormat sebagai ban serep.

Wapres semata membantu presiden. Bantuan itu tidak perlu harus terlihat oleh publik, apalagi terlihat oleh oposisi. Bukti lain, konstitusi tidak membagi kekuasaan presiden di antara mereka berdua. Presiden ialah kepala pemerintahan dan kepala negara, tetapi tidak ada wakil kepala pemerintahan dan wakil kepala negara. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara. Kekuasaan itu dipegang presiden. Konstitusi tidak memandang wapres perlu membantunya, apalagi wajib membantunya.

Di mobil saya, seperti milik orang lain, ban serep ialah ban yang perlu dan penting. Kesehatannya harus terjaga. Dia tidak boleh bocor, apalagi dibiarkan kempis. Dia harus gagah terhormat di tempatnya, sebab sial tertusuk paku bisa terjadi kapan saja. Saya tidak ingin kekuasaan presiden kempis, apalagi dikempiskan, gara-gara ban serep hendak dijadikan ban utama. Tidak boleh lagi ada ‘paku-paku’ yang menumbangkan presiden di tengah jalan, seperti yang menumbangkan Bung Karno, Pak Harto, dan Gus Dur.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.