Neraca Jokowi
HARI ini tepat dua tahun Jokowi-JK menjadi pre siden dan wakil presiden, memimpin negara dan bangsa ini. Apakah yang telah mereka capai? Presiden Jokowi sendiri berterus terang mengakui masih banyak masalah yang belum selesai.
Sebagian masalah yang harus diselesaikan Jokowi-JK bukan masalah yang sama se kali baru, yang terja di di masa pemerintahan mereka.
Kebanyakan masalah merupakan warisan. Bahkan, warisan dari masa silam yang jauh ke belakang. Semua kasus pelanggaran HAM, misalnya, merupakan masalah warisan. Kasus Trisakti 1998, contohnya, dari zaman Pak Harto. Contoh lain, Munir meninggal di ujung pemerintahan Megawati (7 September 2004). Tim Pencari Fakta dibentuk di masa SBY (23 Desember 2004). Alih-alih masalah terselesaikan, yang elementer dalam pemerintahan saja tidak beres, yaitu laporan tim pencari fakta kasus Munir raib entah ke mana.
Masalah KTP-E pun warisan dari pemerintahan sebelumnya. Data banyak warga telah lengkap sejak program itu dilansir, tetapi KTP-E mereka tak kunjung terbit sampai rakyat memilih presiden baru. KTP-E bahkan dililit korupsi. Pemerintahan Jokowi harus lekas dan tangkas menyelesaikan masalah KTP-E itu sehingga tak ada lagi penduduk tanpa KTP-E. Daftar masalah ke belakang itu bisa diperpanjang, tetapi sebaiknya dihentikan sampai di situ.
Kenapa? Melihat ke belakang, ‘buang badan’, melemparkan masalah ke pemerintahan di masa lalu, bukan sikap terpuji. Menyalahkan presiden di masa lalu kiranya hanya dilakukan pemimpin cengeng. Sebaliknya pun serupa, bila presiden di masa lalu suka mengintipintip, mencari-cari kelemahan dan kekurangan presiden yang sedang berkuasa. Dua tahun berkuasa belum cukup waktu untuk menghakimi sebuah pemerintahan.
Akan tetapi, dua tahun kiranya waktu yang lebih dari cukup untuk rakyat ‘membaca’ dan merasakan, ke mana negara ini hendak dibawa. Dua tahun bahkan waktu yang lebih dari cukup untuk rakyat menilai, apakah negara ini memang dikemudikan presiden, atau seakan-akan dikemudikan, padahal dibiarkan jalan sendiri, autopilot. Presiden Jokowi bergiat dalam membangun dan membenahi infrastruktur.
Salah satu yang paling sering dikecamnya ialah pelayanan di pelabuhan, khususnya dwelling time. Kini, di bawah Menteri Perhubungan Budi Karya, dwelling time di Pelabuhan Belawan, Medan, bahkan bisa tiga hari. Presiden Jokowi terkesan memaksakan pembukaan Terminal 3 Soekarno-Hatta, tetapi kini orang dapat menikmati keunggulan terminal itu. Sejak mulai dioperasikan pada 9 Agustus 2016, saya lebih dari 10 kali datang dan pergi melalui terminal itu sehingga merasakan benar kemajuannya.
Penduduk Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua tentu ingin merasakan kemerdekaan Republik ini dalam hal transportasi darat. Berada di satu daratan, tapi antarprovinsi, bahkan antarkabupaten di provinsi yang sama, tak terhubungkan di darat. Setelah lebih 70 tahun merdeka, konektivitas itu terwujud. Siapa pun yang melihat trans-Papua, contohnya, bakal terbelalak matanya, termasuk mata kaum oposisi yang paling kritis dan sinis sekalipun.
Di akhir pemerintahannya (2019), Presiden Jokowi kiranya bakal dikenang sebagai presiden pertama yang membangun mimpi besar infrastruktur itu. Apakah Jokowi sempurna? Tidak. Karena itu, ia harus diingatkan. Kiranya cukup sudah menggunakan hak prerogatif bongkar pasang kabinet. Terlebih lagi, cukuplah seorang Arcandra Tahar yang di mata Presiden tak ada duanya.
Hal lain mengenai hukuman mati. Bila Presiden berpandangan hukuman mati tak lagi sesuai dengan aspirasi HAM, sebaiknya semua permintaan grasi hukuman mati dikabulkan menjadi hukuman seumur hidup. Dengan demikian, sekalipun hukuman mati masih tertera dalam hukum positif, dengan kewenangannya Presiden dapat ‘meniadakannya’. Bagaimana dengan mereka yang telah ditolak grasinya? Demi kepastian hukum, demi konsistensi Presiden, eksekusi hendaknya dilaksanakan.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.