Keyakinan Diganti dengan Nalar
ATMOSFER pertarungan pilkada Jakarta yang semula bernuansa SARA kiranya berubah menjadi berkompetisi dalam harmoni.
Tiga pasang bakal calon gubernur-wakil gubernur berswafoto ria bersama seraya mengembangkan senyum.
Harian ini kemarin mengekspresikannya dalam kepala berita yang sejuk, ‘Lawan tapi Berkawan’.
Ibu kota negara ini diuntungkan beragamnya pilihan dan beranekanya koalisi partai pengusung calon kepala daerah.
Dalam perspektif itu, tidaklah sepenuhnya benar Pilkada Jakarta 2017 merupakan perpanjangan atau penerusan Pilpres 2014, dalam arti meneruskan hanya dua pasang calon dengan koalisi yang sama.
Sebaliknya, pilkada Jakarta sepertinya petunjuk awal perubahan konstelasi dan komposisi koalisi partai sebagai investasi setiap koalisi untuk kandidat Pilpres 2019.
Perkara yang belum di depan mata, tetapi bukan pula tahun yang terlalu jauh untuk dibayangkan dan dicandrakan.
Spekulasi itu sehat bagi demokrasi dan investasi itu perlu disambut baik sebab bangsa ini tidak kelebihan pemimpin.
Lagi pula, bukankah perkara logis belaka bila petahana diusung kembali, tak terkecuali Jokowi?
Karena itu, logis pula bila aksi melahirkan reaksi, memunculkan pikiran untuk menjadikan pilkada Jakarta sebagai ajang ‘penetasan’ dan ‘pementasan’ sekaligus.
Bukankah Jokowi pun dientaskan dan dibawa ke pentas nasional dari posisi Gubernur Jakarta?
Apa pun dinamika yang terjadi, satu hal tidak berubah, yaitu mencari figur yang mampu membendung dan menumbangkan elektabilitas Ahok.
Suka atau tidak suka, 10 tahun cakrawala kepemimpinan di negeri ini diwarnai pencitraan kepemimpinan yang santun.
Figur Ahok mencelat keluar dari kesantunan itu. Anehnya, karakternya itu malah membangkitkan elektabilitas yang tinggi.
Apa pasal?
Jawabnya, manakah yang orang pilih, gubernur yang mulutnya jorok, tapi kelakuannya bersih ataukah gubernur yang mulutnya santun, tapi kelakuannya jorok alias malingan, nyolongan, korupsi?
Sebuah kontras terhadap Ahok wajar dicari dan akhirnya terjawab. Pertama dalam jumlah.
Semula diperkirakan Ahok bakal dikeroyok, hanya dua pasang bertarung head to head, ternyata tiga pasang.
Pilkada Jakarta otomatis diperkaya keragaman pilihan, yang dengan sendirinya mencairkan dikotomi pilihan berbasiskan agama, keyakinan, diganti dengan nalar.
Yang kedua figur yang ditampilkan kurang lebih Gubernur Jakarta yang muda dan intelek.
Agus Yudhoyono, Anies Baswedan, juga Sandiaga Uno, semuanya lulusan sekolah AS beneran, bukan sekolah ecek-ecek.
Boleh diasumsikan mereka makhluk rasional dan konseptual.
Turunannya keyakinan digantikan dengan nalar.
Akan tetapi, hemat saya, dasar pencalonan mereka yang paling kuat mereka menjanjikan perubahan dalam gaya memimpin.
Sebetulnya, pasangan Agus Yudhoyono-Sylviana Murni dan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno kurang lebih merupakan varian saja dari nada dasar yang sama, yaitu nada santun.
Kendati diusung koalisi partai yang berbeda, kedua pasangan merupakan produk pencarian figur yang sama: kontras terhadap gaya kepemimpinan Ahok.
Yang penting, sesuai dengan harapan, pilkada Jakarta yang merupakan ibu kota negara menawarkan kompetisi yang menguak cakrawala bahwa yang dipertandingkan nalar, bukan keyakinan. Ahok-Djarot petahana yang berkinerja baik.
Karena itu, program alternatif yang diperdebatkan pasangan calon kiranya menjadi narasi besar dalam diskusi publik, yang turut memengaruhi pilihan warga.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.