Uang

321

APAKAH ada artinya uang Rp100 juta dalam kehidupan seorang Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman? Di tangan KPK, nilai uang itu sangat dalam bagi hidupnya. Bahkan, berkat KPK, nilai uang itu sama dramatisnya bagi hidup seorang office boy (OB) yang bergaji setara upah minimum.

Upah minimum di DKI Jakarta Rp3,1 juta per bulan. Mendapat rezeki nomplok Rp100 juta, samalah dengan 32 bulan gaji OB. Itu rezeki luar biasa yang seyogianya membuat OB itu bersyukur tak putus-putusnya. Bila OB itu bekerja di Sumatra Barat, daerah asal pemilihan Irman Gusman, yang UMR-nya Rp1.800.725, itu berarti senilai 55 bulan gajinya. Mendapat uang Rp100 juta sungguh rahmat yang berlimpah bagi sang OB.

Sebaliknya, bagi sang senator, uang Rp100 juta itu merupakan laknat tak putus-putusnya, yang terpatri dalam riwayat hidupnya, dalam rekam jejaknya. Kita tidak tahu, berapa hukuman penjara yang bakal diputus hakim untuk Irman Gusman. Mungkin ia dihukum penjara 32 bulan (setara gaji OB di DKI Jakarta), mungkin pula 55 bulan, setara gaji OB di Sumatra Barat, daerah asal pemilihan Irman Gusman.

Membaca berita Irman Gusman ditangkap KPK gara-gara Rp100 juta, banyak yang geleng-geleng kepala, spontan menilai suap Rp100 juta itu terlalu rendah untuk pejabat publik selevel Ketua DPD. Perbandingan dengan gaji OB menunjukkan nilai Rp100 juta itu sangat tinggi. Mengingat jutaan rakyat hidup dengan upah minimum, pernyataan nilai uang itu terlalu rendah bagi seorang tokoh sekelas Irman Gusman justru menghina kebanyakan rakyat yang penghasilannya sebatas UMR.

Kelakuan Irman Gusman jelas sangat menghina rakyat. Bahkan sangat menghina rakyat, negara, dan bangsa, mengingat dialah yang membaca teks proklamasi pada peringatan HUT ke-71 RI di Istana pada Rabu (17/8). “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia,” yang dibacanya saat itu, kini terdengar seperti terbaca sebagai “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan korupsi Indonesia….”

Kasus Irman Gusman menunjukkan penyelenggara negara bukan semakin takut menya­lahgunakan kekuasaannya. Mereka malah semakin rakus. Sebaliknya, KPK juga semakin ‘rakus’ menggasak penyelenggara negara, sekalipun nilai penyelewengan di bawah Rp1 miliar. KPK berpandangan, ketentuan undang-undang bahwa KPK hanya bisa menangani kasus korupsi di atas Rp1miliar ketinggalan zaman. KPK bertindak tanpa pandang bulu dari segi pelaku dan nilai yang dikorupsi. Tunggu waktu saja ada yang ditangkap KPK gara-gara Rp50 juta.

Perkara Irman Gusman kian memperkuat bahwa lama-lama PPATK hanya berhasil menakut-nakuti orang untuk tidak korupsi menggunakan jasa perbankan, tetapi tetap nekat korupsi dengan cara tunai. Cash is king juga berlaku untuk korupsi. Lagi pula, catatan PPATK tidak membawa dampak hebat dalam menjerat kasus korupsi. Contohnya menyangkut rekening gendut dan aliran uang berkaitan dengan nyanyian Freddy Budiman. Catatan PPATK seperti menjanjikan terkuaknya kejahatan luar biasa yang bernama korupsi, tapi ternyata bobotnya cuma ‘untuk dibaca dan dipelajari’.

Dapat dipersoalkan, apakah Irman Gusman tertangkap basah atau tidak oleh KPK dengan uang Rp100 juta. Sejauh terbaca dari liputan pers, ketika ia ditangkap, uang itu sebagai bukti tidak terdapat bersamanya ketika berbuat kejahatan bersama si pemberi uang. Akan tetapi, uang Rp100 juta itu menjadi bukti hebat di tangan KPK. Sudah tentu, juga dalam persepsi publik.

Tertangkapnya Irman Gusman membuat kegaduhan tersendiri di tubuh DPD yang memang ingin melengserkan Irman Gusman. Kursi Ketua DPD kosong. Bukan mustahil untuk menduduki kursi itu juga bekerja uang tunai yang kemudian tertangkap oleh KPK.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.