KTP-E

321

KETIDAKBERESAN KTP-E, sejujurnya, sebagian merupakan warisan ketidakberesan pemerintah di masa Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, di era Presiden SBY jilid 2. Sampai masa pemerintahan itu berakhir, KTP-E tak tuntas terselesaikan. Sekarang, di masa Mendagri Tjahjo Kumolo, di era Presiden Jokowi jilid I, pemerintah memberi batas waktu kepada warga
dengan ancaman, seakan ketidakberes an KTP-E sepenuhnya kesalahan warga.

Ancaman itu sangat menakutkan warga. Bila warga tidak melakukan perekaman data pada 30 September ini, nomor induk kependudukan (NIK) mereka bakal dinonaktifkan. Padahal, tanpa NIK, warga tidak bisa mengurus BPJS, tidak bisa mengurus paspor, tidak bisa mengurus NPWP, bahkan terancam tidak bisa menggunakan hak konstitusional mereka baik dalam pilkada, pileg, maupun pilpres.

Demikian takutnya rakyat dengan ancaman Kemendagri itu, berduyun-duyunlah warga hendak mengurus KTP-E. Mereka mendatangi kelurahan. Ada yang dioper ke kecamatan lalu dilempar ke dinas kependudukan. Banyak warga yang minta izin tak kerja sehari, ternyata urusan tidak selesai sehari, dua hari, bahkan tiga hari pun tidak rampung.

Di sebuah kelurahan warga telah antre mulai pukul 6 pagi. Kantor kelurahan baru buka pukul 08.00. Anehnya, 1 jam kantor kelurahan buka, nomor antrean habis. Kelurahan hanya melayani 200 warga. Warga teriak protes. Pengurusan KTP-E itu semrawut. Tidak dipilah, mana warga yang telah melakukan perekaman data, bahkan telah merekamnya pada awal sekali program KTP-E (2011), tetapi KTP-E itu tiada kunjung terbit hingga sekarang. Semuanya campur aduk dengan warga yang baru akan melakukan perekaman data diri pertama kali.

Menurut Mendagri Tjahjo Kumolo, per 31 Desember 2015, dari total warga wajib KTP sebanyak 182.588.494 jiwa, masih ada 20.541.081 penduduk usia wajib KTP yang belum merekam data diri. Tidak disebutkan berapa banyak warga yang telah merekam data diri bertahun-tahun silam, tetapi KTP-E-nya tidak terbit karena ternyata hasil rekaman komputer di masa lalu itu ‘bolong’.

Itu warisan dari pemerintahan sebelumnya. Saya menduga, Kemendagri tidak punya data lengkap dan akurat, berapa juta penduduk di seluruh negeri yang rekaman data dirinya ‘bolong’. Kementerian kiranya tidak punya kemampuan menyisir kasus bolong-bolong itu. Contohnya, rekaman data diri warga bolong karena ternyata tanda tangan warga yang bersangkutan tidak ada. Akan tetapi, sekalipun cuma urusan tanda tangan bolong, itu tidak dapat diselesaikan dalam tiga kali kunjungan ke kantor kependudukan, saking banyaknya warga yang urus KTP-E.

Itu baru urusan kolom tanda tangan bolong. Patut dipertanyakan, apakah terjadi, warga dulu sudah difoto, ternyata kolom fotonya bolong? Bolong yang satu ini kiranya bakal jauh lebih lama terselesaikan, sekalipun ini era digital, era orang ber-selfi e ria cukup dengan memakai ponsel. Yang juga memprihatinkan ialah petugas yang melayani gagap komputer.

Orang itu masih diajari mengoperasikannya. Orang itu entah pinjaman dari mana. Yang terjadi ialah semacam cultural lag
yang didefi nisikan sosiolog William F Ogburn. Perkembangan teknologi informasi jauh lebih cepat daripada umumnya kemampuan aparat kelurahan, kecamatan, dan dinas kependudukan menggunakannya.

Demi tercapainya pelayanan publik yang efi sien dan efektif, jurang kultural itu harus bisa diatasi lebih cepat. jangan sampai publik kembali curiga, misalnya, perihal kebenaran data jumlah penduduk yang berhak memilih pada Pemilu 2019 karena KTP-E tidak beres sehingga masih dikerjakan manual.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.