Pogbahimovic 69

354

BAGI penggemar sepak bola, akhir pekan kiranya kembali dipenuhi kegairahan menyaksikan Liga Primer yang kian menawan, berkat hadirnya manajer-manajer papan atas. Bagaimana mereka meracik tim masing-masing, terbaca dari fakta siapa yang dijual, dibangkucadangkan, dan tentu siapa yang dibeli. Pep Guardiola, contohnya, dipastikan tidak memakai Joe Hart, kiper utama Manchester City selama ini. Kiper tim nasional Inggris itu dinilai terlalu lama memegang, menahan bola. Padahal, Guardiola menginginkan kecepatan.

Kiper membantu mempercepat serangan dengan tidak membuang-buang tempo, lelet memutuskan kepada siapa bola ditendang atau dilempar. Contoh lain, apakah manajer Chelsea, Antonio Conte, bakal menjadikan Fabregas sebagai pemain utama? Dalam pertandingan awal melawan West Ham, Conte sepenuhnya membangkucadangkan Fabregas. Ada tendensi Conte memilih pemain tengah yang kuat fisiknya.

Sejauh ini ia lebih memilih N”Golo Konte, yang dibeli dari Leicester City. Ada spekulasi, Fabregas akan dimainkan dalam peran playmaker seperti Andrea Pirlo di Juventus, yang tak jarang mengirim bola langsung dari tengah ke depan. Sesuatu yang nyaris tak lazim di Barcelona, tempat Fabregas dididik. Sebaliknya, Mourinho semula ditengarai bakal menjual Juan Mata dan Marouane Fellaini.

Ternyata tidak. Mourinho bahkan meminta fan untuk mencintai Fellaini. Berbeda dengan musim lalu di bawah manajer Louis van Gaal, musim ini di bawah Jose Mourinho, penggemar Manchester United tampak sangat bergembira dan bergairah. Bukan semata karena di awal musim MU memenangkan Charity Shield, menundukkan juara liga, Leicester City, tapi terutama karena dalam tiga pertandingan di awal musim ini, MU meraih nilai penuh (9). Musim lalu, Van Gaal berhasil membawa MU meraih Piala FA, tapi gagal meraih juara liga premier, bahkan gagal masuk empat besar Liga Champions.

Van Gaal dipecat. Jelaslah, kemenangan Charity Shield awal yang menggembirakan. Namun, tunggu waktu saja Morinho pun bakal dipecat, bila ia gagal mengembalikan kejayaan klub, seperti di masa Alex Ferguson. Kegagalan Van Gaal dan datangnya Mourinho menyebabkan rancangan suksesi manajer dari dalam klub, gagal total. Dalam tiga tahun melatih MU, dengan seluruh reputasinya, Van Gaal semula diharapkan dapat menjadi guru bagi sang asisten, Ryan Giggs, sebelum dipromosikan menjadi manajer. Yang terjadi jauh panggang dari api.

Sang guru malah dipecat, digantikan dengan Mourinho, yang pragmatis. Giggs memilih mundur. Semula ada keraguan, apakah Mourinho yang pragmatis, cocok dengan kultur MU. Giggs termasuk yang meragukannya. Demi meraih juara, Mourinho menghalalkan taktik superdefensif, yaitu bak memarkir bus di depan gawang. Padahal, MU, 17 tahun (1986-2013) diasuh Ferguson, menjadi klub yang elegan, dengan gairah penuh menyerang, tanpa kedodoran dalam bertahan. Keraguan terhadap pragmatisme Mourinho itu sepertinya mulai tertepis.

Sang manajer membawa Zlatan Ibrahimovic, penyerang tulen, dan Paul Pogba, pemain tengah yang juga bernaluri menyerang. Hemat saya, Didier Deschamps, manajer tim nasional Prancis, keliru besar ketika di final Piala Eropa melawan Portugal, menempatkan Pogba lebih bertahan. Di tengah banyaknya ramalan saya yang keliru, ternyata benar Pogba menjadi pemain termahal.

Akan tetapi, ia kembali ke MU tidak semata menjadi yang termahal, tetapi membawa serta gaya rambutnya yang unik, eksotis, dan eksentrik sehingga ditiru penggemar.
Begitu hebat sambutan fan terhadap Pogba (bernomor punggung 6) dan Ibrahimovic (bernomor punggung 9), melahirkan pemain khayali Pogbahimovic, bernomor punggung 69. Baiklah dinantikan 10 September ini, pertandingan derbi Manchester, bukan hanya perseteruan sekota MU dan MC, tetapi untuk pertama kali adu kecerdasan Mourinho dan Guardiola di Liga Inggris. Juga kesempatan bagi Ibra mempermalukan Guardiola, atau malah sebaliknya, pembuktian bagi Guardiola, bahwa ia tidak salah membuangnya dari Barcelona.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.