Ahok-Djarot
TIDAK lucu membayangkan Ahok, berpasangan entah dengan siapa pun, menjadi calon tunggal dalam Pilkada Jakarta 2017. Juga tidak lucu bila ternyata Risma meninggalkan jabatan Wali Kota Surabaya hasil pilihan rakyat hanya demi menghadapi Ahok. Akan tetapi, kiranya jauh lebih tidak lucu jika koalisi keluarga besar ternyata gagal memutuskan siapa calon Gubernur Jakarta yang bakal diusung. Ketidaklucuan sebetulnya telah terjadi sejak DPR membuat Undang-Undang Pilkada yang mempersulit warga dari calon independen.
Di satu pihak, warga dipersulit untuk menjadi calon kepala daerah dari perseorangan. Di lain pihak, warga juga dipersulit untuk mengusungnya. Sebuah undang-undang yang mencekik hak konstitusional warga, hanya karena kerdilnya pembuat undang-undang dalam memaknai calon perseorangan. Undang-Undang Pilkada dibuat sedemikian rupa ruwet dan berat sehingga lolos menjadi calon perseorangan samalah dengan gajah lolos dari lubang jarum. Ahok tentu saja tidak mau terganjal Undang-Undang Pilkada. Sekalipun pengusungnya, Teman Ahok, telah mengumpulkan kartu tanda penduduk sebanyak yang disyaratkan, ia akhirnya memutuskan diusung partai politik.
Apakah Teman Ahok kecewa? Tentu tidak. Bagi siapa pun yang menginginkan Ahok kembali memimpin Jakarta, persoalan paling pokok ialah Ahok berhasil lolos di KPU. Tiga partai (Golkar, Hanura, dan NasDem) cukup kursi di DPRD untuk mengusungnya. Apakah ia masih memerlukan partai lain? Sebetulnya, juga tidak lucu, PDIP tidak mengusung kadernya, petahana, Wakil Gubernur Djarot, kembali berpasangan dengan Ahok. Bertambah tidak lucu kalau Djarot tidak dicalonkan sama sekali. Djarot Saiful Hidayat menjadi Wakil Gubernur Jakarta untuk mengisi kekosongan karena Wagub Ahok naik menjadi gubernur menggantikan Jokowi yang dipilih rakyat menjadi presiden.
Mengapa Djarot yang dipilih PDIP, tentu, karena ia mumpuni. Tidak ada bukti PDIP berubah penilaian terhadap Djarot. Hingga saat ini, Djarot masih dipercaya sebagai Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi DPP PDIP. Pasangan Ahok-Djarot kiranya pasangan yang pas untuk dicalonkan kembali memimpin Jakarta. Keduanya tidak perlu lagi belajar ‘kenal’, karena sudah ‘kenal’. Bila terpilih, mereka bisa langsung tancap gas melanjutkan apa-apa yang selama ini telah mereka kerjakan dan rencanakan untuk ibu kota negara yang jauh lebih baik.
Dalam perspektif berbangsa dan bernegara, kiranya bukan persoalan lagi, apakah Ahok-Djarot melamar atau dilamar. Bukan juga urusan besar bila keduanya diusung menjelang injury time. Pilkada Jakarta wajar mengundang perhatian publik nasional, bukan semata karena Jakarta ibu kota negara, melainkan lebih karena calon gubernur yang dikompetisikan. Di pilkada sebelumnya, petahana Gubernur Fauzi Bowo, misalnya, didukung koalisi besar, dan Jokowi-Ahok seakan dikeroyok. Semua itu menyebabkan pilkada Jakarta menjadi ajang demokrasi yang menawan. Karena itu, kita sangat berharap koalisi kekeluargaan mengusung calon yang kuat sehingga pilkada Jakarta tetap menjadi ukuran tersendiri.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.