Dan Lain-Lain

333

INILAH fakta mutakhir mengenai media sosial.

Instagram di-hit 500 juta pemakai.

Fakta lain, sebanyak 95 juta foto dan video di-posting di Facebook setiap hari.

Berapa banyak dari fakta itu netizen-nya orang Indonesia?

Seorang penulis buku menjawabnya dengan perbandingan yang amat kontras.

Katanya, Jakarta merupakan kota paling banyak orang ngetweet di dunia.

Sekitar 64 juta orang Indonesia memakai Facebook, yaitu lebih dari jumlah penduduk Inggris Raya.

Akan tetapi, 80 juta penduduk Indonesia hidup tanpa listrik (sebanyak semua orang Jerman), dan 110 juta hidup kurang dari 2 dolar AS per hari (sebanyak semua penduduk Meksiko).

Semua yang kontras itu saya ambil dari buku berjudul Indonesia Etc karya Elizabeth Pisani yang diterbitkan Yayasan Lontar pada 2014.

Elizabeth, koresponden Reuters dan The Economist (1988-1991), kembali lagi ke Indonesia setelah menyelesaikan studi epidemiologi.

Ia bekerja dengan Kementerian Kesehatan (2001-2005) dalam urusan HIV di kalangan pekerja seks, pemakai narkoba jarum suntik, serta gay di kota-kota besar.

Buku itu hasil 13 bulan perjalanan di negeri ini, yaitu menempuh 21.000 kilometer dengan sepeda motor, bus, dan kapal; serta perjalanan lainnya 20.000 kilometer dengan pesawat udara.

Hasilnya? Sebuah buku setebal 404 halaman yang mengeksplorasi Indonesia sebagai improbable nation, bangsa lengkara.

Lengkara artinya mustahil, sesuatu yang tidak mungkin ada.

Atas semua lengkara/mustahil itu, jurnalis perempuan yang menjadi epidemiolog itu kerap mempertanyakannya, dan mendapat jawaban, “Ya, begitulah Indonesia, Bu!”

Angka pengguna Facebook itu menunjukkan betapa ‘terdepannya’ orang Indonesia.

Betapa ‘begitulah orang Indonesia’.

Salah satu yang hebat dalam pemakaian media sosial itu, meluasnya gejala selfie, memotret diri sendiri, lalu menyebarluaskannya ke ruang publik.

Penting benar cinta diri dan pamer diri.

Sudah tentu elite Indonesia termasuk yang ‘pandai’ bermedia sosial.

Salah satunya Wakil Ketua DPR Fadli Zon, yang memberikan klarifikasi melalui akun Twitter perihal anaknya, Shafa Sabila Fadli, yang minta dilayani Konsulat Jenderal RI selama berkunjung ke New York.

Tak hanya sampai di situ.

Pada 30 Juni 2016, pukul 12.05, Fadli Zon mem-posting video, “Putri saya Shafa Sabila Fadli menyanyikan lagu Tanah Airku.”

Apa tujuannya?

Saya tidak tahu.

Saya hanya teringat buku Elizabeth Pisani, ingin meniru dan memodifikasi jawaban yang sering diperolehnya, “Ya, begitulah elite Indonesia.”

Yang paling ‘menggugat’ dari buku itu ialah digunakannya kata ‘etc’, yang berarti ‘dan lain-lain’ (dll) sebagai judul buku, Indonesia Etc.

Elizabeth mengambilnya dari teks proklamasi yang ditandatangani Soekarno-Hatta, yang berbunyi, “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.” Dalam teks asli, tulisan tangan, yang dipakai memang singkatannya, ‘dll’, alias ‘etc.’

Tulis Elizabeth, “Indonesia has been working on that ‘etc’ ever since.”

Sejak proklamasi 70 tahun lebih, Indonesia memang masih berurusan dengan berjibun perkara ‘dan lain-lain’ yang ternyata tidak dapat diselesaikan dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Dalam konteks itu, pedih mengatakan, begitulah Indonesia, begitulah elite Indonesia, begitulah dll, dan lain-lain.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.