Kota Sampah

389

SEBUAH kota, sebuah harapan.

Bahkan, berjuta-juta harapan akan hari esok, bahwa hidup di kota itu bakal jauh lebih baik, lebih indah.

Bagaimana mengukur harapan itu, bukan perkara baru.

Tiap tahun, tiga institusi, yaitu majalah Monocle, Economist Intelligence Unit (EIU), serta firma konsultan Mercer, melakukan survei yang menghasilkan kota-kota yang dinilai terbaik di dunia.

Majalah Monocle telah melakukannya sejak 2010.

Pada 2015, Tokyo (Jepang) terpilih sebagai kota terbaik di dunia untuk tempat tinggal.

EIU membandingkan hasil survei 5 tahun, hasilnya tahun lalu Melbourne (Australia) sebagai kota terbaik untuk hidup.

Firma konsultan Mercer, melakukan survei membandingkan 221 kota berdasarkan 32 kriteria.

Hasilnya, Wina (Austria) menempati peringkat nomor 1.

Ketiga survei itu punya kekhasan dan kesamaan.

Kesamaannya antara lain menjadikan tingkat kriminalitas/keamanan, fasilitas kesehatan, sekolah, transportasi publik, sebagai kriteria yang sama.

Kekhasan Mercer memasukkan faktor stabilitas politik sebagai kriteria, sesuai peruntukan hasil survei demi perusahaan multiinternasional.

Monocle, majalah urban dan gaya hidup global, memuat faktor mutu arsitektur sebagai salah satu ukuran.

EUI, lembaga sepupu majalah The Economist, untuk menghasilkan The world’s 10 best cities to live in, tidak memasukkan biaya hidup sebagai faktor, tapi ancaman konflik serta tingkat penyensoran/levels of censorship.

Tak ada survei yang sempurna, termasuk survei di kota mana yang terbaik untuk manusia tinggal dan hidup (liveability index).

The New York Times, misalnya, menilai hasil survei EIU sebagai anglocentric, terlalu pro ke kota-kota berbau Inggris, karena banyaknya kota di Australia mendapat peringkat terbaik, yaitu 4 dari 10 kota.

Di lain pihak, Mercer menjadikan New York sebagai garis dasar pengukuran.

Hasilnya, New York dan London tidak termasuk 10 besar.

Dalam semua survei kota terbaik di dunia untuk manusia hidup tersebut, orang tidak lagi berbicara perihal membuang dan mengelola sampah sebagai sebuah ukuran untuk disurvei.

Perkara sampah sudah lama selesai.

Bahkan, limbah industri pun sudah dibereskan. Kota tercemar limbah industri, berupa asap maupun buangan lain, pastilah bukan tempat terbaik di dunia untuk dihuni.

Dalam perspektitf itu, kiranya hanya kota tertinggal jauh di belakang peradaban global yang masih berurusan dengan sampah, terlebih sampah rumah tangga.

Bila survei dilakukan dalam 3 bulan terakhir di Indonesia, kota itu ialah Kota Pekanbaru.

Dari segi sampah, barangkali itulah kota terburuk untuk tempat tinggal, the worst city to live in.

Reaksi terhadap buruknya manajemen sampah itu sama busuknya dengan sampah itu sendiri.

Pekan lalu, serombongan mahasiswa melancarkan protes keras terhadap Wali Kota Pekanbaru Firdaus, dengan cara membuang sampah (persisnya entah berapa truk) ke depan rumah dinas wali kota.

Vulgar, brutal, tapi itulah puncak ekspresi yang ditanggapi sang Wali Kota dengan mengadukan mereka ke polisi.

Katanya, untuk mencari aktor intelektual yang berdimensi politis.

Sebuah pernyataan yang kira-kira berkaitan dengan diselenggarakannya pilkada serentak, Februari tahun depan.

Aktor intelektual silakan dicari, motif politik silakan diusut.

Akan tetapi, sampah di kota itu tetaplah sampah yang urusan kepublikannya, terutama primer, menjadi tanggung jawab wali kota, sebagai pejabat publik, sebagai penyelenggara negara.

Siapa pun dia! Tanggung jawab sekunder dan tersier, di pundak dinas kebersihan dan perusahaan pemenang tender yang ingkar janji ataupun wanprestasi.

Bapak Wali Kota yang terhormat, penghuni kota terutama manusia.

Bukan lalat dan ulat yang bahagia hidup di dalam sampah dan bersama sampah.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.