Remah-Remah

363

WIBAWA Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan terakhir dan tertinggi sepertinya tinggal remah-remah, yaitu sisa-sisa yang ketinggalan hanya pada diri seorang hakim agung Artidjo Alkostar.

Itu pun lebih pas disebut sebagai wibawa peradilan yang menakutkan daripada wibawa peradilan yang terbit karena agungnya keadilan.

Semua perkara kasasi korupsi yang ditangani Artidjo berakhir dramatis, diganjar lebih berat.

Hotasi Nababan, yang dihukum bebas pengadilan tipikor, dihukum penjara 4 tahun. Anas Urbaningrum yang dihukum 7 tahun penjara, diperberat dua kali lipat menjadi 14 tahun.

Hotasi membahasakan putusan itu sebagai hukum tanpa takaran, sedangkan Anas mendoakan Artidjo makin tenar di kuburan.

Putusan Artidjo memperberat hukuman koruptor memenuhi harapan publik agar tercipta efek jera. Publik kecewa bila koruptor dihukum ringan.

Korupsi telah menjadi kejahatan luar biasa karena itu perlu hukuman luar biasa pula agar orang berpikir sejuta kali untuk korupsi.

Apakah efek jera itu terwujud?

Hingga saat ini tidak ada bukti bahwa korupsi menurun. Faktanya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) makin rajin menangkap basah pelaku korupsi.

Yang terjadi malah sebaliknya, orang jera membawa perkaranya ke Mahkamah Agung. Orang bukan takut korupsi, tapi takut kasasi.

Orang takut mencari keadilan di tempat yang agung karena takut bertemu hakim agung Artidjo Alkostar, yang telah dipersepsikan sebagai monster, tukang jagal.

Tukang jagal harus dihindari.

Bukankah dalam kesempitan ada kesempatan? Terjadilah korupsi, yaitu jual beli jasa agar perkara tidak jatuh ke tangan Artidjo.

Itulah yang dilakukan Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisna bekerja sama dengan Staf Kepaniteraan Muda Pidana Khusus dan Panitera Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung.

Keduanya ‘membantu’ pihak yang beperkara agar perkara tidak ditangani Artidjo, tetapi ditangani hakim agung yang ‘oke’.

Apa pun judgment yang dipakainya, Artidjo hakim yang merdeka. Bukan hakim yang ‘oke’ menurut para koruptor.

Namun, ketakutan ‘ketemu’ Artidjo malah mendorong korupsi kian ‘kreatif’ terjadi di dalam Mahkamah Agung.

Bukan hanya untuk menunda pengiriman salinan putusan terkait korupsi, tetapi juga penentuan hakim menghindari Artidjo.

Semua itu bukan dosa Artidjo. Mahkamah Agung telah menjadi kolam yang keracunan, tinggal seorang Artidjo menjadi ikan yang kebal dan ganas, tidak turut keracunan.

Artidjo ialah remah-remah, yang ketinggalan di Mahkamah Agung. Tapi bukan dalam penilaian sisa-sisa keagungan, melainkan kealgojoan.

Kolam itu harus disterilisasikan.

Caranya?

Sebaiknya Mahkamah Agung ditempatkan jauh dari kekuasaan peredaran uang.

Mahkamah Agung juga dijauhkan dari kemudahan para pihak bertemu dengan hakim agung ataupun pejabat/staf Mahkamah Agung.

Bukankah Mahkamah Agung tidak memeriksa para pihak di persidangan, tapi semata memeriksa berkas?

Mahkamah Agung kini dalam keadaan darurat karena itu pindahkan saja ke Bukittinggi, Sumatra Barat, kota yang pernah menjadi ibu kota negara di masa pemerintahan darurat.

Di kota kecil itu, pers dan KPK, bahkan warga setempat, gampang memantau, mengawasi, bahkan ‘menangkap’ dengan kamera telepon seluler siapa pun pendatang yang ‘berlalu lalang’ dengan kepentingannya.

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.