Apa Adanya

345

PRESIDEN Jokowi akhirnya mengambil keputusan mendasar mengenai data.

Katanya, mulai saat ini (Selasa, 26/4), untuk urusan data, pemerintah hanya akan menggunakan satu data dalam setiap pengambilan kebijakan atau keputusan, yaitu dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Keputusan mendasar karena menyangkut kejujuran dan kepercayaan. Presiden berterus terang bahwa perbedaan data membuat pemerintah tidak tegas dan ragu-ragu dalam memutus kebijakan.

Data beras contohnya. Instansi yang satu bilang produksi beras surplus, instansi yang lain bilang minus.

Mana yang benar?

“Jika memang harus impor, ya harus impor. Sebaliknya kalau tidak impor, ya harus diputuskan secara tegas tidak impor. Ke depan jangan lagi Presiden disodori data berbeda-beda,” kata Jokowi.

Selama ini, dalam hal data, pemerintah memang tidak pernah satu. Ada banyak ‘pemerintah’, tergantung kepentingan.

Akibatnya, pucuk pimpinan pemerintah, yaitu Presiden RI, sulit mengambil keputusan.

Kini Presiden mengakhiri kesimpangsiuran data.

“Satu data yang kita pakai, BPS.”

Tidak berarti persoalan selesai. Ada data yang per definisi ‘telanjang’ dari sononya sehingga data dapat dihadirkan, apa adanya.

Data umur penduduk, misalnya. Bagaimana dengan data jenis kelamin?

Mungkin ‘bias’ karena negara hanya mengenal pria dan perempuan, tidak mengakui LGBT.

Data beras sama telanjangnya dengan data umur penduduk.

Kita tidak perlu lebih dulu mendefinisikan apa itu beras, untuk kemudian mendapatkan datanya.

Karena itu, sangat aneh bahwa data beras Kementerian Pertanian berbeda dengan data beras Bulog, seakan apa yang dinamakan beras berbeda di antara kedua instansi itu.

Lain halnya dengan kemiskinan.

Kemiskinan harus lebih dulu didefinisikan, diperoleh konsep operasional, lalu berbasiskan semua itu, barulah kemiskinan yang dimaksud dapat diukur dan diperoleh datanya di lapangan.

Menjadikan pendapatan US$1 per orang per hari (kemudian dinaikkan menjadi US$1,90 mulai Oktober 2015) sebagai ukuran kemiskinan (Bank Dunia), kiranya berbeda dengan data kemiskinan yang dihasilkan, bila yang digunakan data konsumsi pangan (Prof Dr Sajogyo).

Pertanyaannya, siapa yang menetapkan definisi/ukuran kemiskinan itu?

BPS bukan pengambil kebijakan publik.

BPS tidak boleh berpihak kepada garis kemiskinan yang mana pun.

Sebaik-baiknya perkara ialah BPS menggunakan bermacam-macam garis kemiskinan sehingga Presiden dapat mengambil kebijakan publik dengan judgment searif-arifnya karena diberi data komprehensif.

Meminjam pendapat pakar, urusan terhadap data BPS tinggal 3V.

Pertama, validity, apakah data benar dan akurat.

Kedua, veracity, apakah data bermakna untuk persoalan yang dihadapi.

Ketiga, volatility, berapa lama ‘umur’ data itu masih ‘hidup’.

Sensus penduduk 10 tahun sekali.

Data kemiskinan perlu lebih cepat dimutakhirkan.

Sepuluh tahun bagi orang miskin terlalu lama.

Jangan-jangan mereka sudah mati digerogoti kemiskinan.

Betapa ironis, pemerintah percaya mereka masih hidup, bahkan hidup lebih baik, karena menganggap terentas dari kemiskinan.

Data (majemuk) berasal dari datum (tunggal), kata benda Latin yang berarti something given, apa adanya.

Di zaman senang berdandan, bergincu, apa adanya merupakan urusan ‘berat’.

Yang berat itu sepenuhnya dipercayakan kepada BPS.

Apakah menteri tidak boleh omong data?

Boleh, asal mengutip BPS.

Jangan mengarang sendiri!

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.