Nofiadi
MENDAGRI Tjahjo Kumolo memberhentikan Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi dari jabatan Bupati Ogan Ilir, Sumsel, karena tertangkap basah memakai narkoba.
Mendagri tidak menunggu Nofiadi menjadi terdakwa, tidak pula menanti keputusan pengadilan tingkat pertama, apalagi keputusan hukum tetap Mahkamah Agung.
Sebuah langkah cepat diambil Mendagri, secepat perubahan nasib yang menimpa Nofiadi.
Ada empat makna kepublikan kasus Nofiadi.
Pertama, ketegasan pemerintah terhadap narkoba.
Kedua, pelajaran bagi parpol pengusung calon kepala daerah.
Ketiga, tidak ada hubungan ilmu yang dipelajari dengan kelakuan.
Keempat, remuknya dinasti kekuasaan, dalam waktu sangat cepat.
Nofiadi tergolong bupati termuda, belum 28 tahun (lahir 22 November 1988), dilantik menjadi bupati 17 Februari 2016, ditangkap BNN 13 Maret 2016, alias cuma 26 hari duduk di kursi bupati.
Jika dihitung sejak keputusan pemberhentian pada 19 Maret, usia regenerasi dinasti 32 hari.
Kayaknya itu riwayat terburuk jatuhnya dinasti kepala daerah di negeri ini.
Nofiadi terpilih menggantikan ayahnya, Yahya Mawardi, Bupati Ogan Ilir selama 10 tahun (2005-2010 dan 2010-2015).
Nofiadi juga termasuk anggota DPRD tercepat meninggalkan kursi wakil rakyat.
Pada Pemilu Legislatif 2014, ia terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Ogan Ilir dari Partai Golkar.
Pada 2015, ia harus mengundurkan diri karena mencalonkan diri menjadi bupati, dalam rangka menggantikan ayahnya.
Sebaliknya, untuk memuluskan pencalonan anaknya, selaku petahana sang ayah mengundurkan diri dari jabatan bupati (Juni 2015), padahal masa jabatannya berakhir Agustus 2015.
Putra kesayangan itu ditangkap tangan menggunakan narkoba di rumah sang ayah, di Kota Palembang.
Apakah dalam konteks dinasti itu, Mahkamah Konstitusi (MK) turut bertanggung jawab?
Tentu tidak.
Namun, kasus Nofiadi mau tidak mau mengingatkan publik pada putusan MK merestui calon kepala daerah membangun dinasti.
Mengajukan diri ikut pilkada hak konstitusional warga.
Putusan MK itu mengecewakan, tapi kini penentang dinasti seperti mendapat penghiburan, yaitu upaya meneruskan satu dinasti remuk dihajar narkoba, ditangkap BNN.
Apakah parpol pengusung Nofiadi menjadi bupati bertanggung jawab? Nyatanya, juga tidak.
Karena itu, barang siapa berkata bahwa calon independen berbeda dengan calon parpol karena tidak jelas siapa yang bertanggung jawab sebaiknya segera mencabut omongan.
Omongan itu belum lama ini dilontarkan, terkait pencalonan Ahok menjadi Gubernur Jakarta, melalui jalur independen.
Kasus Nofiadi juga mengingatkan pentingnya partai menyelisik rekam jejak calon kepala daerah lebih teliti.
Bahkan, sebaiknya parpol berinisiatif mensyaratkan agar keterangan bebas narkoba calon kepala daerah yang diusungnya diperoleh dari BNN.
Kasus Nofiadi mestinya juga tanggung jawab KPUD agar tidak ‘kecolongan’.
Nofiadi sarjana psikologi. Saya tidak tahu apakah hanya Nofiadi seorang atau banyak sarjana psikologi tak mampu mengendalikan dorongan ‘psikologisnya’, terhadap narkoba.
Yang pasti, fakultas/universitas tempat Nofiadi kuliah tidak ada urusan, apalagi bertanggung jawab dengan kelakuannya.
Seperti tidak ada urusan fakultas hukum dengan lulusannya yang melanggar hukum.
Mendagri membuat terobosan dengan segera memberhentikan Nofiadi. Berbeda dengan kasus korupsi menunggu keputusan pengadilan, dalam perkara narkoba, tes urine, darah, dan rambut Nofiadi oleh BNN cukup bagi Mendagri untuk menjatuhkan vonis memberhentikannya dari jabatan bupati.
Bukan pemberhentian sementara, melainkan langsung diberhentikan.
Sebuah langkah tegas agar kepala daerah kapok bernarkoba, juga agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan.
Karena itu, praktis naiklah Wakil Bupati Ilyas Panji Alam yang berasal dari PDIP menjadi bupati.
Saya berharap, keputusan cepat Mendagri Tjahjo Kumolo mencopot Nofiadi benar-benar dalam rangka menghajar narkoba, mengisi kekosongan kepala pemerintahan di daerah, bukan demi promosi Ilyas Panji Alam, yang separtai dengannya, menjadi bupati.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.