Warisan WJS Poerwadarminta

333

SEDIH membaca Surat kepada Redaksi dari ahli waris WJS Poerwadarminta, penyusun Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang dirugikan PT Balai Pustaka (BP). Penerbit milik negara itu ingkar janji.

Menurut ahli waris, Winardi Poerwadinata, BP belum menyelesaikan pembayaran sisa royalti hak cipta atas buku kamus edisi III, cetakan XII, yang telah diterbitkan dan diperjualbelikan di toko-toko buku.

BP menyanggupi bayar royalti Rp40 juta. Itu pun bertahap. Namun, hingga surat itu terbit, BP baru membayar Rp5 juta. “Ketika kami tanyakan kapan sisanya, BP mengelak,” tulis Winardi Poerwadinata (Kompas, Jumat, 19/2).

Sedih, sekalipun saya bukan ahli waris biologis WJS Poerwadarminta, melainkan ahli waris leksikografis, memiliki dan menggunakan kamus karya mendiang, cetakan IV (1966). Cetakan IV terdiri dua buku, dua bagian. Pertama huruf A hingga O (632 halaman) dan kedua huruf P hingga Z (522 halaman). Kamus itu orisinal, belum ‘diolah kembali oleh Pusat Bahasa Depdikbud’.

Sedih, karena siapa tak kenal BP, terlebih siapa tak kenal WJS Poerwadarminta? Rupanya itu retoris kalangan tua. Boleh jadi BP hanya membekas dalam ingatan kalangan gaek. Ia tenggelam di antara penerbit swasta. Pelajar kesusasteraan sekarang boleh jadi mengingatnya sebagai hafalan: BP sebuah era sebelum Pujangga Baru. Namun, sebagai penerbit? Saya yang 60-an pun nyaris ‘tak kenal’ lagi.

Orang lebih kenal sang pengarang, WJS Poerwadarminta, penyusun Kamus Umum Bahasa Indonesia daripada BP. Jangan-jangan hampir setengah abad penerbit buku tidak lagi diasosiasikan dengan BP, tetapi GM, Gramedia. Kemajuan swasta kemajuan anak bangsa, tetapi duka intelektual, jika BP yang tertinggal mengabaikan royalti, tidak menghormati dan menghargai intelectual property WJS Poerwadarminta

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua cetakan keempat (1995), Kamus Umum Bahasa Indonesia yang pertama terbit 1953 dinilai tonggak sejarah dalam pertumbuhan leksikografi Indonesia.

“Walaupun sederhana dan praktis, kamus ini deskriptif yang pemuatan lema ataupun penjelasan maknanya dapat dipertanggungjawabkan ilmiah.”

Sebelumnya, WJS Poerwadarminta telah menghasilkan Baoesastra Indonesia-Djawi (1930). Bersama K Prent, J Adisubrata, dan Jacob Kramers, ia menyusun Kamus Latin-Indonesia. Sempat bekerja di Jepang sebagai penerjemah dan belajar kesusteraan di Universitas Sophia, Poerwadarminta menelurkan Kamus Harian Jepang-Indonesia.

Ia bapak kamus Indonesia, tetapi terang-terangan hendak dilupakan BP, yang mencetak ulang kamus itu berkali-kali. Penerbitan kamus itu royaltinya tak beres, bahkan terbit tanpa pemberitahuan ke ahli waris.

Patut didiagnosis BP hidup segan, mati enggan. Keuangannya kiranya lebih banyak kempis daripada kembang. Negara harus peduli, menjadikannya penerbit nirlaba untuk mencerdaskan bangsa. Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani dan Mendikbud Anies Baswedan perlu turun tangan memulihkan orientasi dan eksistensi BP.

Ini bukan zaman penerbit mencari karya, tapi zaman penulis membayar penerbit asal karyanya ‘tampil’. Versi lain era selfie. Selfie cuma perlu ‘tampak’, tak butuh royalti. Maaf, WJS Poerwadarminta dan banyak penulis lain bukan cendekiawan selfie. BP dan penerbit mana pun seharusnya kembali ke peradaban, hak pengarang dilindungi undang-undang.

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.