Kado dari Presiden
HARI Pers Nasional kali ini dirayakan dengan kado istimewa dari Presiden Jokowi. Kado itu berupa kritik tajam dan harapan kepada pers nasional yang disampaikan dalam bahasa terus terang, lugas, apa adanya.
Presiden boleh dikata tidak membaca naskah pidato, melainkan membaca satu per satu berhelai-helai print out berita, yang judulnya bermuatan pesimisme, dan karena itu pers menyebarluaskan pesimisme. Semula Presiden hendak mempresentasikan semua judul berita itu agar terbaca gamblang oleh insan pers, akan tetapi tidak terlaksana, karena agaknya panitia tidak merancang venue sedemikian rupa sehingga Presiden dapat berpidato seraya mempresentasikan pokok-pokok pikirannya di layar.
Acara puncak Hari Pers Nasional berlangsung Selasa (10/2), di tepi pantai, menghadap laut, di kawasan potensi wisata Mandalika, Lombok Tengah, NTB. Mentari bersinar tajam, kiranya membuat layar presentasi ‘terlalu terang benderang’ untuk menampilkan aksara. Bukankah proyektor perlu secercah kegelapan agar yang diproyeksikan baik terbaca?
Presiden Jokowi membaca satu per satu judul berita yang sejujurnya memang menyentak insan pers. Antara lain, ‘Indonesia Diprediksi akan Hancur’, ‘Semua Pesimis Target Pertumbuhan Ekonomi Tercapai’, ‘Pemerintah Gagal Aksi Teror, Tak akan Habis Sampai Kiamat pun’, ‘Kabut Asap tak Teratasi Riau Terancam Merdeka’. Presiden bahkan membaca judul yang lebih sensasional, ‘Indonesia akan Bangkrut, Hancur’, ‘Rupiah akan Tembus Rp15.000, Jokowi-JK akan Ambyar’.
Kata Presiden, kalau judul seperti itu diteruskan di era kompetisi ini, yang muncul ialah pesimisme, etos kerja tidak terbangun dengan baik. “Yang muncul adalah hal-hal yang tidak produktif, bukan produktivitas.”
Beita-berita itu menimbulkan distrusting, ketidakpercayaan. Presiden berharap agar seluruh insan pers dan media turut membangun optimisme, etos kerja masyarakat, bukan sebaliknya. Secara spesifik presiden melontarkan gagasan media televisi membangun karakter cinta bangsa dengan cara tiap satu jam menyediakan sedikit saja durasi dari jam siaran yang panjang untuk menayangkan lagu-lagu kebangsaan.
Secara tidak langsung Presiden pun mengajak becermin balik ke era pembredelan pers. Bila dahulu pemerintah menekan pers, sekarang pers menekan pemerintah. Dahulu setelah ditekan, berita langsung yang baik-baik.
Tersirat sentilan, kenapa di era kebebasan pers, hidup tanpa tekanan, yang terbit malah yang buruk-buruk? Kenapa dalam kebebasan pers yang dihormati Presiden itu, justru diproduksi pesimisme?
Semua itu penting untuk introspeksi. Pers yang kerjanya, antara lain atas nama fungsi kontrol mengungkap kebobrokan pihak lain, kini sepatutnya memeriksa diri sendiri. Pertama, rupanya euforia kebebasan pers belum normal benar. Rupanya masih membekas dalam-dalam, rasa sakit sisa-sisa 32 tahun ditekan pemerintah. Belum tuntas terpuaskan, tersembuhkan, lahirlah berita-berita pesimisme, menekan pemerintah. Sepertinya tidak layak headline, bila tidak dramatis-negatif. Semoga saya salah.
Kedua, jangan-jangan terjadi proses involutif di news room, penyempitan perspektif dan pemajalan sudut pandang. Hasilnya ialah pesimisme, karakter tidak memercayai pemerintah. Lagi-lagi, semoga saya keliru.
Terakhir, good news is good news. Media sang pembawa dan penyebar optimisme berkaitan dengan perubahan mindset dari bad news is good news. Bukan perkara baru, bukan pula perkara gampang. Terimakasih, Presiden Jokowi memberi kado terindah, mengingatkan perkara itu, di acara puncak Hari Pers Nasional.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.