Budaya Estafet

365

TOKOH senior Golkar, mantan Presiden RI ke-3, BJ Habibie, menyatakan perlunya mengembangkan budaya estafet dalam kehidupan berpolitik. Budaya itu ialah memberikan kepemimpinan politik kepada generasi lebih muda.

“Bukalah pintu untuk pimpinan partaimu, berikan kepada mereka yang usianya antara 40 sampai 60 tahun.” Hal itu dicanangkan Habibie, ketika membuka Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar, Sabtu (23/1).

Tak ada teks tanpa konteks. Konteksnya ialah perseteruan tak berkesudahan dua kubu pengurus DPP Golkar, yaitu kubu hasil Munas Bali dipimpin Abu Rizal Bakrie dan kubu hasil Munas Jakarta dipimpin Agung Laksono. Konflik tak berkesudahan yang menunjukkan sempitnya kepentingan dan macetnya kearifan pemimpin partai untuk berbagi kekuasaan. Penilaian apakah yang layak disandangkan kepada pemimpin senior yang tersekap, tepatnya menyekapkan diri ke dalam gorong-gorong konflik tak berkesudahan?

Abu Rizal Bakrie November nanti berumur 70 tahun dan Agung Laksono Maret ini berusia 67 tahun. Kontekstual Habibie tegas mengalamatkan kata-katanya kepada kedua pimpinan Golkar itu. Akan tetapi, estafet di batas umur 60 tahun, faktanya tidak semata milik pimpinan Golkar. Bukankah sejumlah partai juga dipimpin tokoh senior di atas 60 tahun? Megawati Soekarnoputri, sebentar lagi dalam Januari ini juga berumur 69 tahun, disusul Wiranto dalam April pun 69 tahun. Setelah itu, dalam September, SBY berusia 67 tahun. Surya Paloh berumur 65 tahun dalam Juli, kemudian Prabowo usia yang sama, dalam Oktober. Bedanya dengan Golkar, semua pimpinan partai itu tidak memiliki masalah sebagai ketua umum, dalam partai masing-masing.

Fakta itu menunjukkan, apabila teks yang sama diterapkan dalam konteks yang jauh lebih besar, apa yang dicanangkan Habibie jelas perkara yang dihadapi kebanyakan partai di negeri ini. Semuanya memerlukan estafet kepada generasi selanjutnya berumur 40 sampai 60 tahun, karena semua yang disebut itu telah melewati 60 tahun, sama seperti Abu Rizal Bakrie dan Agung Laksono.

Saya menduga ada asumsi yang dipakai Habibie. Kurang lebih, isinya, apabila kedua pimpinan yang bertikai, yaitu Abu Rizal Bakrie dan Agung Laksono tidak lagi berkeinginan menjadi ketua umum, sepertinya selesailah konflik yang tak berkesudahan. Sepertinya jika tampuk pimpinan diberikan kepada yang lebih muda, hampir dapat dipastikan munaslub bakal mengakhiri konflik kepengurusan DPP Golkar. Sebuah tesis menarik untuk diusung dan diwujudkan, apakah yang muda tidak ketularan egoisme kekuasaan para senior.

Pernah penulis kemukakan dalam forum ini perihal pentingnya fungsi generatif kepemimpinan ditegakkan di negeri ini. Sebagian besar persoalan patut ditengarai bersemayam di kalangan senior yang resisten digantikan. Bahkan, selalu ada kenyataan manis sekaligus pahit, bahwa sang pemimpin tak tergantikan, entah berapa lama lagi. Namun tidak ada ‘kesalahan tunggal’, seperti tak ada bertepuk sebelah tangan. Sebagian persoalan pun kiranya bersembunyi dalam diri yang muda, yang hendak diwariskan estafet kepemimpinan, yang sulit mengakui keunggulan sesama yang muda. Bahkan, mereka pun terpenjara sebagai ‘follower’ sang pemimpin yang berkonflik, menyebabkan tak ada jaminan konflik usai dengan turun tahtanya senior yang berkonflik. Bukankah para pengikut pun turut terperangkap, bahkan juga memerangkapkan diri ke dalam gorong-gorong konflik?

Budaya estafet tak mudah dilaksanakan. Habibie, tokoh senior bangsa ini, sang pemimpin, telah mengingatkannya. Bukan hanya untuk Golkar, tetapi kiranya untuk kebanyakan partai.

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.