Stabilitas dan Stagnasi
SEPULUH tahun menjadi presiden, apakah SBY berhasil? Kalau berhasil, apa yang diwariskannya? Jawabannya tersedia dalam buku baru (2015), The Yudhoyono Presidency. Tebal 357 + xvii halaman, terbitan Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, buku itu komplet membahas legacy SBY dalam berbagai bidang.
Di bidang ekonomi, dalam satu dekade berkuasa SBY dinilai berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi moderat kuat, yaitu 5%-6%, ketimbang 5%-8% di era Pak Harto. Itu pencapaian positif di tengah kerawanan krisis finansial global 2008-2009. SBY dinilai bukan reformis. Manajemen ekonominya lebih reaktif ketimbang proaktif. Kendati demikian, manajemen makroekonominya sukses. Ia dinilai gagal mengurangi subsidi BBM serta memperbaiki infrastruktur. Telaah itu ditulis Hal Hill, di bawah judul The Indonesian Economy during the Yudhoyono Decade.
Pandangan dari dalam ditulis Dewi Fortuna Anwar. Di prolog, ia mengungkapkan ada tujuh capaian pemerintahan SBY. Pertama, SBY relatif sukses mentransformasi demokrasi politik pembawa stabilitas dan normalitas. Kedua, desentralisasi mekar, bergerak dari sebelumnya sentralisasi dan Jawasentris. Di akhir kekuasaannya, negeri ini lebih bersatu, aman, dan mampu mengatasi krisis.
Keempat, ekonomi pulih dari krisis, bahkan berkembang hampir empat kali lipat. Kelima, kombinasi stabilitas politik dan perkembangan ekonomi memungkinkan SBY meningkatkan program kesejahteraan sosial, pendidikan, dan kesehatan. Keenam, di bawah SBY, Indonesia bermain aktif di kancah regional dan internasional. Ketujuh, lewat media sosial, masyarakat warga jadi kekuatan berpengaruh di isu kepublikan. SBY pun aktif bermedia sosial.
Pertanyaan penting, karena berkat suara perempuan, SBY dua kali terpilih jadi presiden. Melani Budianta, Kamala Chandrakirana, dan Andy Yentriyani berkesimpulan dalam berbagai cabang kehidupan kaum perempuan bukannya meningkat, malah memburuk. Itu terbukti dari mandeknya tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga politik utama; merosotnya indikator kesehatan, kematian ibu, dan pendidikan; memburuknya perlindungan hukum terhadap perkara berbasis diskriminasi gender.
Menurut ketiga penulis, kegagalan itu terkait langsung dengan Presiden SBY dan kebijakan-kebijakannya yang terbentuk oleh konservatisne agama dan gesture simbolis daripada aksi-aksi afirmatif dan tulus mengatasi isu-isu perempuan. Banyak perempuan kecewa dengan kepemimpinan SBY. Bahkan, dalam buku Selalu Ada Pilihan yang terbit menjelang berakhir masa jabatannya, SBY hanya menyebut masalah perempuan dalam dua halaman. Itu pun mengenai kontroversi kontes Ratu Dunia.
Salah satu kritik paling konsisten, SBY peragu. Editor buku ini, Edward Aspinall, Marcus Mietzner, dan Dirk Tomsa, berpandangan lain. Mereka tak menilai SBY peragu, melainkan moderat. Fungsi utama SBY sebagai moderator, bukan pengambil keputusan. Ia mencegah konfrontasi politik, menjaga stabilitas, berkoalisi, dan berkompromi. Dalam wawancara dengan dua editor buku, SBY membahasakan dirinya, “I love stability, I love order.”
Cinta itu membuat SBY pemimpin di tengah dan menengahi. Ia tak mengambil sisi tegas terhadap isu kontroversial, bahkan menunjukkan ‘jalan tengah’ sebagai sifat positif. Hasilnya 10 tahun stabilitas dan stagnasi. Itu pula subjudul buku, Indonesia‘s Decade of Stability and Stagnation.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.