DPRD Mimika

303

LEBIH setahun tiga bulan pemilu legislatif (pileg)
telah diselenggarakan, tetapi hingga kini, ada satu kabupaten tidak
punya DPRD karena anggota DPRD hasil pileg tidak kunjung dilantik.
Itulah DPRD Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Mengapa?

Jawabnya juga berupa pertanyaan. Siapa yang dilantik
jika penetapan perolehan suara hasil pemilu berubah-ubah? Kok bisa? Ada
apa? Ke mana saja KPU dan Bawaslu? Apa kabar Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilihan (DKPP) yang diketuai Jimmly Asshiddiqie?
Tidakkah layak ditengarai ada persoalan kehormatan di balik
gonta-gantinya keputusan KPU Mimika? Untuk pemerintah pusat, bukankah
Gubernur Papua telah menyerahkan persoalan kepada Mendagri, tapi tidak
berpengaruh? Mendagri macan ompong? Apakah Presiden dilapori bahwa di
negara ini ada kabupaten tanpa DPRD? Kalau ya, apakah terjadi pembiaran?
Jangan-jangan semua petinggi berlakon ‘kura-kura dalam perahu,
pura-pura tidak tahu’? Ujung semua itu: capek deh.

Agar tidak sampai bikin capek, mari ke pangkal
masalah, yaitu KPU Kabupaten Mimika tidak bertindak selaku penyelenggara
pemilu, tetapi penyelenggara persoalan hasil pemilu. Bayangkan. KPU
Mimika memproduksi lima surat keputusan (SK) penetapan perolehan suara,
yang satu isinya membatalkan keputusan yang lain, mengesahkan yang lain
lagi, dan yang sudah dinyatakan sah dibatalkan lagi. Itu jelas
menciptakan ketidakpastian hukum. Sudah tentu berubah-ubahnya penetapan
perolehan suara berakibat pada susunan kekuasaan politik lokal di DPRD.
Semua itu bergantung pada mood kapan tanggal keputusan KPU Kabupaten
Mimika diterbitkan.

Berhubung nomor SK itu angkanya banyak, padahal otak
saya tak bagus-bagus amat dalam angka sekalipun lulus SMA IPA, izinkan
saya hanya menyebut tanggal terbitnya SK. Keputusan pertama dikeluarkan
29 April 2014, kedua 9 Mei 2014, ketiga 20 Mei 2014, keempat 25 Mei
2014, dan lebih setahun kemudian, pada 1 Juni 2015 KPU Mimika
mengeluarkan SK membatalkan keputusan yang dibuatnya pada 25 Mei 2014
dan menyatakan sah keputusan yang juga dibuatnya sendiri pada 9 Mei
2014.

Begitulah KPU Mimika gonta-ganti lima SK melahirkan
anomali dan preseden dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan di
Republik ini bahwa pemda dapat tegak dan berjalan sekalipun tanpa DPRD.
Go to hell with DPRD. Tanpa DPRD pun daerah itu ‘tidak kiamat’. Tidak
kiamat karena anggaran penerimaan dan belanja daerah bisa berjalan terus
tanpa ada DPRD. Tidak kiamat sekalipun KPU daerah, KPU pusat, Bawaslu,
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan, bupati, gubernur, mendagri,
presiden, semuanya seperti ‘kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak
tahu’ dengan perkara itu.

Kepalang tanggung, basah mandi sekalian. Lanjutkan
saja negara membikin eksperimen lima tahun Mimika tanpa DPRD? Kalau
hasilnya baik, jadikan saja Mimika kabupaten khusus tanpa DPRD. Jika 10
tahun hasilnya lebih baik lagi, buka kesempatan kabupaten lain jika
ingin mengikuti keteladanan Mimika.

Semua itu sarkasme getir, sinisme pahit, yang apa
boleh buat harus ditulis karena setahun lebih negara tidak hadir. Hingga
hari ini Kabupaten Mimika terus tanpa DPRD. Ke mana persoalan ini mesti
dibawa? Bukankah tidak seorang pun berkaitan perolehan suara Pemilu
2014 dapat mengadukan nasib ke Mahkamah Konstitusi karena perkara sudah
kedaluwarsa?

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.