Terkena Batunya
POLISI Malaysia menghentikan pidato Dr Mahathir
Mohamad dalam forum Nothing2Hide di Putra World Trade Center, Kuala
Lumpur, Jumat (5/6).
Berdasarkan foto di The Straits Times, perwira polisi
tampak santun kala ‘memberedel’ Mahathir. Alasan polisi ialah demi
ketertiban umum dan kerukunan nasional.
Forum terbuka itu diselenggarakan bagi Perdana
Menteri Datuk Seri Mohd Najib Razak untuk menjawab ‘tuduhan’
penyelewengan di perusahaan negara 1Malaysia Development Berhad (1MDB)
yang dilontarkan Mahathir.
Akan tetapi, menurut The Straits Times, pada Jumat
pukul 08.50 itu Inspektur Jenderal Polisi Tan Sri Khalid Abu Bakar
men-tweet bahwa acara dibatalkan atas perintah polisi demi keamanan
umum.
PM Razak nyatanya tidak hadir pada forum yang dijadwalkan mulai pukul 10.00 itu. Ketidakhadirannya menuai kritik. Petinggi Partai UMNO menyayangkan ketidakhadirannya.
Forum itu sangat penting bagi PM Razak bukan hanya
untuk membantah tuduhan, melainkan juga, bila ia benar, ganti
‘menghajar’ mantan bosnya, Mahathir.
Ketidakhadiran Razak sebaliknya membuat Mahathir dinilai menang. Dalam pidatonya ia berseru, “Apakah kita negara merdeka atau dijajah?”
Ia sempat menilai Razak antek Singapura dan Amerika. Hanya beberapa menit ia berpidato, polisi langsung memberedelnya.
Seperti telah saya tulis di kolom ini 49 hari lalu, Mahathir gencar menyerang PM Razak melalui blognya (Media Indonesia, 23/4). Istri Razak pun dikecam bergaya hidup mewah. PM paling lama berkuasa itu sampai pada kesimpulan,
“Saya rasa dia tidak patut lagi menjadi perdana menteri.”
Forum Nothing2Hide yang diselenggarakan persatuan
advokat diharapkan menjadi wadah buka-bukaan. Seperti judulnya, dalam
forum itu mestinya tak ada lagi yang disembunyikan Razak di depan
publik. Namun, ia memilih tak hadir dan polisi ‘memilih’ memberedel Mahathir.
Saya menduga bagi Mahathir pemberedelan itu bak senjata makan tuan yang menyakitkan. Mahathir kena batunya, batu buatannya. Kala berkuasa ia represif menggunakan kekerasan negara terhadap oposisi.
Hegemoni kekuasaannya antara lain dibangun di atas
Internal Security Act (Akta Keselamatan Dalam Negeri) yang memberi
kewenangan hukum bagi negara untuk menangkap dan menahan tanpa
pengadilan. Ternyata dugaan saya keliru.
Mahathir tidak tersinggung, tidak marah, tidak
melawan. Ia menerima kena batunya, menerima senjata makan tuan, menerima
diberedel. Tidak menyakitkan.
Mantan PM itu patuh pada perintah polisi. Ia menunjukkan diri sebagai warga biasa yang kini terkena perlakuan represif negara. Tak ada kegaduhan.
Kepada wartawan ia malah mengatakan datang untuk
mendengarkan pembelaan Razak dan jika diyakininya benar, ia akan terus
mendukung Razak.
Mari berandai-andai. Apakah yang terjadi jika, katakanlah, polisi menghentikan pidato mantan Presiden SBY yang tengah mengkritik Presiden Jokowi. Pasti gaduh hebat. DPR menghakimi agar Kapolri dicopot, bahkan menjadi pintu masuk pemakzulan presiden.
Pengandaian itu kiranya tak bakal terjadi. Pertama, dengan seluruh kehebatannya ‘gaya’ Mahathir yang mantan PM mencereweti PM tak cocok untuk negeri ini. Lagi pula, tak elok mantan PM menjadi oposisi terhadap PM dari partai sendiri (keduanya UMNO). Jeruk ‘makan’ jeruk.
Kedua, pemberedelan seperti itu kiranya tak bakal
terjadi di negara ini karena betapa pun tak sempurna inilah negara
demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.