Sepak Bola Lidah

325

HATI ini senang, akhirnya PSSI dibekukan FIFA yang korup. Sebelumnya, hati ini lebih dulu riang, Menpora di era Presiden Jokowi berani membekukan PSSI karena dari masa ke masa PSSI bak rezim tersendiri. Namun, di atas semua itu, hati ini jauh lebih gembira menanti 6 Juni 2015, yaitu menyaksikan dua aliran sepak bola di Eropa bertanding merebut juara Liga Champions.

Mereka ialah Juventus mewakili negara bermazhab seni bertahan dan serangan balik, serta Barcelona mewakili school keindahan dan ketajaman menyerang. Tentu bukan paham kaku tanpa varian. Juventus berubah, juga Barcelona tidak lagi ber-tiki-taka. Adu strategi dan kecerdasan di luar lapangan dua manajer, Massimiliano Allegri dan Luis Enrique, turut menentukan.

Terus terang, bertahun-tahun menonton sepak bola Eropa di televisi membuat saya tidak tertarik menonton sepak bola Indonesia. Rasanya begitu buruk sepak bola bangsa sendiri. Hati ini siap dinilai sebagai anak bangsa tidak memiliki nasionalisme. Dalam sepak bola, jelas dan tegas, saya penganut globalisme. “Saya tidak melihat paspor pemain,” kata Arsene Wenger, manajer Arsenal asal Prancis, menjawab kritik karena lebih banyak mengambil pemain asing. Paspor biarlah urusan imigrasi.

Menyaksikan Alexis Sanchez melewati dua-tiga lawan dan menciptakan gol membuat saya lupa apakah ia berkebangsaan Cile, kelahiran Tocopilla, atau seorang Londoner, warga kota markas Arsenal. Kembali ke Tanah Air, sepak bola Indonesia ialah sepak bola ketangkasan kata-kata dan ketajaman lidah, baik menyerang maupun bertahan. Itu nyata benar dalam hiruk pikuk berkaitan dengan pembekuan PSSI.

Saya muak menonton talk show mengenai pembekuan di layar televisi dan spontan memindahkan saluran ke siaran sepak bola menggunakan kaki, meninggalkan sepak bola lidah. Cuplikan pertandingan klub Inggris ‘kemarin’ jauh lebih bagus ditonton daripada perbincangan live tentang PSSI. Di tengah jutaan penggemar sepak bola di negeri ini, saya berharap tidak sendirian.

Sesuatu yang menyakitkan, bahwa kemarin di negeri orang lebih elok daripada hari ini di negeri sendiri. Membenahi sepak bola lidah memang harus dari induknya. Nama PSSI yang telah beku itu sebaiknya dikubur saja. Banyak pilihan pengganti. Kalau selama ini ada yang membunyikan ‘ef’ (F) sebagai ‘pe’ (P), sekarang gantilah ‘pe’ (P) menjadi ‘ef’ (F). Itulah FSSI, Federasi Sepak Bola Seluruh Indonesia.

Pilihan lain juga bagus, yaitu ASSI, Asosiasi Sepak Bola Seluruh Indonesia. Akronim itu mengingatkan air susu ibu (ASI) yang tercurah dari hati tulus dan tubuh bersih. Sepak bola negeri ini harus kembali ditata bagaikan baru dilahirkan. Negara sebagai ibundanya tidak hanya menyusuinya, tetapi juga harus memberinya berbagai imunisasi agar kebal terhadap penyakit masa lalu.

Diharapkan sepak bola Indonesia bukan hebat di mulut seperti dalam talk show, melainkan di kaki dan di otak dengan seluruh keindahan dan kecerdasannya di lapangan hijau. Kaki dan otak yang mampu bersaing di aras global. Afrika Selatan sukses menjadi tuan rumah Piala Dunia. Kita? Ya ampun, cekcok sendiri. Di tangan PSSI yang dibekukan dan sebaiknya dikubur itu, tidak ada tanda-tanda sepak bola Indonesia bakal sampai ke kelas dunia. Di tangan ASSI (sebutlah begitu sementara), di bawah pemerintahan Jokowi, kiranya tanda-tanda itu dapat bertunas, di musim panas sekalipun. Senang hati ini mengatakan itu semua, sesenang menanti 6 Juni, siaran langsung dari Berlin, Jerman.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.