Aklamasi Vs Kompetisi

223

NEGARA ini tak kelebihan pemimpin. Partai pun tak
kekurangan pemimpin. Bahkan banyak yang berhasrat menjadi ketua umum.
Kabar gembira lain, animo itu tak berkaitan dengan kekuasaan di
pemerintahan.

Partai Demokrat tak lagi berkuasa, minat menjadi
ketua umum tetap bergelora, bahkan menimbulkan tantangan internal,
apakah ketua umum dipilih melalui kompetisi-kontestasi atau aklamasi.
Bukan pilihan gampang karena ada yang bergairah dan berani bersaing
melawan SBY lewat kompetisi terbuka. Sebaliknya, ada yang berpandangan
tiada guna berkompetisi karena SBY didukung pemilik 90% suara. Daripada
menghabiskan waktu dan energi lebih baik aklamasi.

Partai Demokrat partai modern yang ketika SBY di
pemerintahan justru mengambil jalan kompetisi untuk memilih ketua umum.
SBY bahkan tidak menunjukkan preferensi sekalipun anaknya, Ibas, di kubu
Andi Mallarangeng. Andi dan Marzuki Alie kalah, Anas Urbaningrum
menang. Namun, kepemimpinan Anas berakhir tragis karena menjadi
terpidana korupsi. Juga Andi. Alhasil regenerasi gagal.

Anas tampaknya sakit hati. Padahal, ia bukan kader
pepesan kosong tanpa pengikut dan pendukung. Partai Demokrat memerlukan
konsolidasi intensif. Untuk itu, terpenting bukan menghasilkan ketua
umum buah kongres kompetisi-kontestasi, melainkan memiliki ketua umum
berwibawa menghadapi Pemilu 2019. Saat ini kompetisi belum tentu pilihan
bijak jika dibandingkan dengan aklamasi.

PAN memilih ketua umum melalui kompetisi. Zulkifli
Hasan menang tipis atas Hatta Rajasa, kemenangan yang tidak bisa
dimungkiri berkat pengaruh Amien Rais. Zulkifli merangkul mantan ketua
umum Sutrisno Bachir yang sebelumnya tersingkir, tapi kini ada
tanda-tanda bakal kehilangan mantan ketua umum Hatta Rajasa dan mantan
wakil ketua umum Dradjad Wibowo.

Kehilangan itu mungkin berdampak biasa-biasa
sepanjang Amien Rais tegak di situ. Namun, Amien ingin menunjukkan saat
ini era baru PAN. “Pak Zul pegang kendali,” katanya. Pernyataan elok
sekalipun tetap pertanyaan besar di masa depan ketika Amien tiada,
apakah PAN tetap utuh bila terus menempuh jalan kompetisi dalam memilih
ketua umum. Jangan-jangan demi keutuhan partai, saat itu lebih baik
aklamasi saja.

PDI Perjuangan tidak ambil pusing dengan penilaian
pengamat perihal oligarki. Partai itu tidak sok demokratis. PDIP memilih
aklamasi menetapkan Megawati sebagai ketua umum. Dua faktor
melandasinya, yaitu legitimasi sebagai pendiri partai dan berwibawa ke
dalam. Dua hal itu juga dimiliki Partai Demokrat (SBY), Gerindra
(Prabowo), Hanura (Wiranto), NasDem (Surya Paloh), dan PAN (Amien Rais),
tapi tidak dimiliki Golkar dan PPP. Tidak ada yang secara perorangan
dapat disebut sebagai pendiri PPP dan Golkar. PPP hasil fusi sejumlah
partai Islam. Golkar berasal dari Sekretariat Bersama Golongan Karya
yang didirikan elite Angkatan Darat.

Kini kedua partai itu tak punya figur berwibawa
sebagai pemersatu. Karena itu, munaslub sekalipun bukan jaminan konflik
selesai jika pemilihan ketua umum melalui kompetisi.Aklamasi dikritik
berbuah oligarki. Kompetisi ternyata berbuah konflik. Semua pilihan
seperti usus buntu kena infeksi. Mana yang dipilih? Jangan jadikan buah
simalakama. Soliditas partai lebih urgen sehingga untuk sementara
aklamasi. Sampai elite partai terkagum-kagum akan bunga lotus. Dengan
seluruh keindahannya ia butuh kehijauan daunnya untuk jadi indah. Tak
seorang pun pemimpin partai bisa menjadi indah sendirian.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.