Mantan
BOLEHKAH mantan kepala negara/kepala pemerintahan menjadi oposisi? Lebih tajam lagi, bolehkah ia mengecam keras pemimpin
negara yang sedang berkuasa dan menilainya tak layak lagi menjadi
kepala pemerintahan? Kata ‘boleh’ kayaknya terlalu longgar. Terbuka jawaban ‘boleh-boleh saja’. Bahkan, ‘kenapa tidak?’.
Yang terakhir itu agaknya merupakan sikap Dr Mahathir Mohamad. Perdana menteri paling lama berkuasa (22 tahun) di
Malaysia itu tengah keras-kerasnya mengecam Datuk Seri Mohd Najib Razak,
perdana menteri yang berkuasa sekarang. PM Najib dinilai memiliki perilaku personal tak becus.
Kalau Najib tak bisa menjelaskan raibnya uang
miliaran ringgit dan keterlibatannya dengan orang-orang yang dapat
dipertanyakan di manajemen 1Malaysia Development Berhad (1MDB), badan
penanaman modal milik negara, menurut Mahathir,
“Saya rasa dia tidak patut lagi menjadi perdana menteri negeri ini.”
Seperti diberitakan The Straits Times dua hari lalu (21/4), tak hanya PM Najib yang dihajar Mahathir. Istrinya, Datin Seri Rosmah Mansor, pun dikecam sangat pedas.
Dalam blognya Mahathir bahkan siap membongkar ‘lavish lifestyle’, gaya hidup bermewah-mewah Datin Seri Rosmah. Gara-gara berita itu, saya tergoda membuka blog Mahathir.
Kecaman terhadap Najib itu bernaung di bawah judul ‘The Crooked Bridge and Me’. Semuanya bermula dari Singapura resmi menolak pembangunan jembatan, hal yang menurut Mahathir memalukan.
Tak hanya itu. Mahathir juga kecewa karena Najib gagal di banyak
hal, seperti tidak membangun rel ganda dan elektrifikasi jalur Johor
Bahru-Padang Besar. Namun, itu bukan pertama kali ‘sang Master’ mengecam penerusnya.
Pada 2006, Mahathir mengecam PM Abdullah Ahmad
Badawi, juga gara-gara dinilai ingkar janji membatalkan proyek besar
yang dulu digagasnya, termasuk jembatan penghubung Malaysia-Singapura. Ia tak bisa menerima bahwa pemerintah tak punya dana.
Ia menyesal memilih Badawi, padahal sebelumnya menginginkan Najib Razak yang menggantikannya, yang sekarang juga dikecamnya.
Setelah Pak Harto meninggal, tokoh senior di ASEAN yang masih hidup ialah Lee Kuan Yew dan Mahathir. Setelah Lee wafat, tinggal Mahathir seorang, pemimpin disegani di kawasan ini.
Apakah Mahathir mengidap ‘post-prime-ministerial syndrome’? Mahathir pernah menyanggahnya ketika ia mengkritik Badawi. Sanggahan yang kiranya valid karena Mahathir seorang dokter.
Sebelum berkarier di bidang politik, Mahathir merupakan satu-satunya dokter Melayu di Kota Alor Setar yang praktiknya sukses. Ia bahkan mempekerjakan seorang Tionghoa menjadi
chauffeur untuk mobil Pontiac Catalina miliknya. Chauffeur ialah sopir
untuk mobil mewah. Kala itu umumnya Melayu yang menjadi chauffeur.
Bagaimana dengan para mantan kepala negara di negeri ini? Saya nyaris tak membaca atau mendengar mantan Presiden BJ Habibie mengkritisi, apalagi mengecam presiden yang sedang berkuasa.
Berbeda dengan mantan Presiden Megawati yang kerap mengkritik pemerintahan SBY. Apakah SBY bakal mengambil posisi mengkritisi, bahkan mengecam Presiden Jokowi? Terlalu dini menjawabnya. Jokowi baru enam bulan berkuasa, tapi ada tanda-tanda SBY bakal memelihara kesantunan.
“Kami semua memberi mandat kepada Presiden. Pimpinlah
kami sebaik-baiknya,” ujarnya dalam Silaturahim Nasional Forum
Komunikasi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat di Hotel Sahid, Kamis
(16/4) malam.
See more at: http://mediaindonesia.com/podium/read/59/mantan/2015-04-23#sthash.ii08t61k.dpuf
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.