Sayur Lodeh

317

DUA hari lalu (Selasa, 14/4) Presiden Jokowi makan siang bersama sejumlah pengamat politik di Istana Negara. Mereka ialah kalangan intelektual yang pendapat dan komentarnya sering muncul di media. Yang dihidangkan lauk santapan rakyat seperti tempe, ayam goreng, dan sayur lodeh.

Hasil ‘survei’ pengamat politik yang juga memimpin lembaga survei, katanya yang ludes disantap sayur lodeh. Sangat penting mengetahui apa yang dihidangkan Presiden dan apa pula yang paling lahap dinikmati.

Siapakah Anda dapat dilihat dari apa yang Anda makan.
Bila ‘sampah’ (junk food) yang dimakan, itulah pula yang ada di tubuh
Anda.

‘Tell me what you eat, and I will tell you what you are’.

Saya tak tahu persis kapan Jean Anthelme Brillat-Savarin menciptakan kutipan itu. Yang jelas lawyer dan politikus Prancis itu lahir 1 April 1755 dan meninggal 2 Februari 1826. Karena tak ada orang mati berkarya, kutipan itu setidaknya telah berumur 189 tahun.

Sayur lodeh jelas bukan santapan sampah. Ia tergolong lauk terhormat.

Bung Karno, presiden pertama, menyukainya bahkan lebih spesifik ia juga jatuh cinta bermula dari lidah. Sayur lodeh buatan Hartini yang dihidangkan di rumah Wali Kota Salatiga, 1952, tak hanya membuat lidahnya kepincut. Hatinya juga kecantol kecantikan pemasaknya. Dua tahun kemudian ia menyunting Hartini menjadi istrinya di Bogor, 1954.

Sayur bersantan itu juga disukai Pak Harto.

“Hidangan yang paling saya sukai adalah lodeh buatan
istri saya.” Karena istri Pak Harto hanya satu, tentu yang dimaksud
ialah Bu Tien.

Siapakah yang memasak sayur lodeh yang disantap para pengamat politik bersama Jokowi?

Apakah Bu Iriana, first lady, yang tak canggung mengerjakan pekerjaan rumah tangga walaupun ada pembantu? Entahlah. Yang pokok bukan siapa yang masak, melainkan apa yang dimakan dan apa yang dibicarakan.

Bersama sayur lodeh itu, antara lain dibicarakan
hubungan Jokowi-Megawati, kenaikan harga, dan tren hasil survei
ketidakpuasan publik atas kinerja kabinet.

Presiden disebut lebih banyak mendengar.

Menyangkut hubungannya dengan Megawati, Presiden membahasakannya baik-baik saja. Bahkan, di Sanur, Bali, bertiga bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, mereka makan malam dengan rileks.

Makan siang dengan ‘target audience’ bukan yang pertama dilakukan Jokowi. Sebelumnya, Presiden makan siang bersama Panglima TNI
dan kepala staf angkatan. Bahkan, makan siang merupakan kekuatan
Jokowi selaku Wali Kota Surakarta.

Kesabarannya menjamu dan mendengarkan dalam rentang
waktu panjang membuat ia dengan mulus menenangkan dan memenangi hati
pedagang kaki lima sehingga bersedia dipindahkan dengan gembira.

Itu menjadikannya tokoh lokal mengorbit ke luar Surakarta. Tentu tidak ada makan siang gratis. Makan di istana pakai APBN.

Tapi, Jokowi sudah lama kenyang makan siang dan
pengamat politik yang diundang pun sangat kuat tidak makan siang demi
pendapat dan kritik mereka didengar dan dilaksanakan Bapak Presiden. Presiden jelas perlu tahu suasana kebatinan publik.

Baguslah Presiden bakal rutin melakukannya meminta
saran dan langkah-langkah strategis dari pengamat politik. Kenaikan
harga kebutuhan pokok, misalnya, bisa bikin rakyat kesal dan menyesal
memilih Jokowi. Jajak pendapat kiranya memberi umpan balik yang
dipercaya.

Dalam perspektif itu, pantaslah kalau yang ludes sayur lodeh, bukan ayam goreng.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.