Gaya Komunikasi

359

ADA bermacam-macam gaya pemimpin berkomunikasi. Ada yang tenang (Bung Hatta). Ada yang bergelora (Bung Karno). Ada yang nyeleneh (Gus Dur). Ada yang santun (SBY).

Apakah gaya berkomunikasi penting?

Yang jelas pemimpin publik di negeri ini diharapkan manusia bertata krama. Setidaknya tampak luar. Karena itu, ia harus pandai membungkus keaslian diri sehingga publik tak tahu gaya yang orisinal. Keaslian hanya diketahui di kalangan domestik. Tak soal lain di luar, lain di dalam. Bertopeng perkara jamak.

Perihal domestik itu penting disebut meski satu paragraf saja karena selalu ada pemimpin publik yang dalam hal
kepublikan lebih takut istri.

Bisa terjadi sang pemimpin publik gayanya tampak tegas di ruang publik, tapi takluk di ruang privat. Atau sebaliknya, ramah di hadapan publik, garang di rumah, bahkan mungkin melakukan kekerasan domestik.

Di era reformasi, di zaman parlemen begitu berkuasa, yang berkembang lobi politik. Berkomunikasi tertutup, mengandalkan gaya sang lobbyist.

Pelobi setengah ulung, apalagi ulung banget, bisa bikin barang lonjong menjadi sedikit bundar dan diterima sebagai bulat.

Dalam sidang terbuka DPR, bila terjadi hal-hal krusial dan sepertinya macet, pimpinan sidang akan mengetuk palu, sidang diskors. Fungsi lobi pun bekerja di bawah atap besar musyawarah untuk
mufakat.

Tak usah heran kalau undang-undang yang disahkan DPR kemudian dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk ditinjau ulang. Hasilnya yang disahkan secara bulat di DPR itu tetaplah lonjong di hadapan
konstitusi.

Contoh lain, dalam hal pembahasan anggaran, eksekutif enggan repot-repot, ogah bersitegang urat leher, terlebih konflik berkepanjangan melawan legislatif.

Yang biasanya terjadi ialah politik kompromi, politik transaksional, buah lobi tertutup, mulus, dan manis.

Karena itu, pada dasarnya tak ada pencarian dan penegakan kebenaran sekalipun yang terjadi hitam melawan putih, kebajikan versus kebatilan. Yang terjadi ialah kompromi. Dalam hal itu
gaya komunikasi menentukan.

Tengil, sinis, konfrontatif, sulit diajak berunding. Demikianlah gaya mengalahkan substansi.

Bagaimana kalau muncul pemimpin publik tanpa masker, tanpa topeng? Keluar dari mainstream?

Pemimpin tanpa tedeng aling-aling. Apa yang bersemayam di hati dan pikiran diceploskan apa adanya, seasli-aslinya, di hadapan publik.

Pemimpin yang berani melakukan perang terbuka. Singkatnya pemimpin anomali dalam segi paling langka dewasa ini, yaitu berani karena jujur.

Pemimpin model itu mengganggu. Sekalipun jujur, ceplas-ceplos dengan nada keras di ruang publik dinilai tak etis, tak elok, tak sopan, tak santun.

Itulah yang dialami Gubernur Jakarta Ahok, sampai ada yang mengatakan agar ia mengubah gayanya berkomunikasi politik. Honesty is the best policy. Untuk apa manis berkomunikasi, tapi tak jujur,
ganas beranggaran?

Jadi, biarlah Ahok dengan gayanya berkomunikasi, sepanjang jujur dan substansinya benar.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.