Empat Profesor

357

DI era demokrasi ini, sedikitnya empat profesor terjerat kasus korupsi. Keempatnya dari perguruan tinggi berpredikat center of excellence alias pusat kecerdasan, yaitu UI, IPB, ITB, dan UGM.

Yang aktual tentu dijadikannya Prof Dr Denny Indrayana sebagai tersangka oleh Polri.

Dalam kapasitasnya sebagai wakil menteri hukum dan HAM, Guru Besar UGM itu dianggap bertanggung jawab atas pengadaan proyek payment gateway bernilai Rp32,4 miliar. Dalam proyek itu ada pula
dugaan pungutan liar dari pembuatan paspor sebesar Rp605 juta.

Tahun lalu, April 2014, Guru Besar ITB, Prof Dr Rudi Rubiandini, dalam kedudukannya selaku Kepala SKK Migas, divonis tujuh tahun penjara.

Jauh hari sebelumnya, Juli 2007, Guru Besar IPB, Prof Dr Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong, lebih dulu dihukum tujuh tahun penjara sampai kasasi.

Hukumannya berkurang menjadi 4,5 tahun karena permohonan peninjauan kembali yang diajukannya dikabulkan Mahkamah Agung.

Di hari kebebasannya, Rabu, 25 November 2009, di pintu LP Cipinang, ia dikabarkan disambut sejumlah tokoh, antara lain Ketua MPR Taufiq Kiemas, mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, mantan Menpora
Adhyaksa Dault, serta Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan.

Guru besar pertama yang menjadi terpidana kasus korupsi ialah Guru Besar UI, Prof Dr Nazaruddin Sjamsuddin.

Dalam kedudukannya selaku Ketua Komisi Pemilihan Umum, ia divonis 6 tahun kemudian berkurang sesuai putusan peninjauan kembali menjadi 4 tahun 6 bulan.

Pada Kamis, 13 Maret 2008, sang profesor bebas bersyarat dijemput istri dan anak-anaknya.

Semua profesor itu duduk di kursi jabatan publik sesuai dengan kepakaran.

Mereka tergolong idaman karena the right man on the right place.

Guru besar politik urus pemilu, guru besar perikanan urus ikan, guru besar migas urus migas, dan guru besar hukum urus hukum.

Orang ideal gagal menjadi teladan.

Teladan?

Di tengah rusaknya negara karena korupsi, muncul harapan negara menjadi lebih baik bila turut diurus akademikus bergelar profesor doktor.

Di kampus kiranya masih bersemi nilai-nilai kebajikan.

Masuknya mereka ke kekuasaan sebagai pejabat publik diharapkan menjadi contoh, anutan, tidak saja dalam hal kompetensi, tetapi juga integritas.

Profesor doktor yang terpilih menjadi penyelenggara negara diasumsikan memiliki semuanya, baik intelektualisme maupun integritas. Namun, faktanya orang baik turut rusak dalam sistem yang rusak.

Timbul pesimisme, omong kosong bahwa sebaiknya orang memperbaiki negara dari dalam sistem pemerintahan.

Empat profesor dari empat perguruan tinggi terkemuka berbeda, di era pemerintahan yang juga berbeda, cukup menjadi bukti bahwa mereka masih manusia Indonesia seumumnya.

Penghormatan kepada mereka harus dipilah-pilah. Itulah yang dilakukan mahasiswanya.

Di ruang tahanan atau di penjara sang profesor terus melanjutkan kontribusi akademiknya, mengajar dan membimbing mahasiswa.

Sesuatu yang dipujikan malah, dalam penjara sang guru besar melanjutkan pengabdiannya.

Maaf, manusia Indonesia memang cenderung menjadi manusia terbelah.

Sepertinya sakit, tapi itulah derajat kesehatan yang umum.

Diri yang sebelah malaikat, sebelah lainnya setan.

Tak usah heran menemukan kenyataan pengadaan kitab suci di Kementerian Agama dikorupsi.

Anak alim, tapi pecandu narkoba.

Profesor, tapi maling.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.