Lalat juga Punya Limpa

356

BILA kemenangan tertunda terlalu lama, semangat dan moral pasukan akan menurun. Itulah salah satu nasihat Jenderal Sun Tzu, ahli strategi perang di zaman Tiongkok klasik.

Kemenangan tertunda terlalu lama itu menimpa elite Golkar dan PPP. Tertunda, kubu siapakah menang perang internal menjadi ketua umum definitif-de jure? Padahal, perang eksternal, pilkada serentak, menanti di depan hidung.

Jika mengikuti nasihat Sun Tzu, masuk akal bila semangat dan moral pasukan kedua partai itu, baik pasukan kepala daerah petahana maupun pasukan bakal calon baru, bisa menurun. Mereka siap bertempur, tapi pucuk pimpinan di markas besar justru tengah bersengketa.

Ujung perang memang cuma menang atau kalah. Bila kalah, semangat dan moral pasukan roboh. Akan tetapi, kemenangan tertunda terlalu lama bikin galau, bahkan bisa lebih menyakitkan.

Kemenangan membutuhkan kepastian. Biasanya langsung disertai pesta kemenangan. Kemenangan tertunda terlalu lama menggerogoti suasana kebatinan, antara lain karena euforia tak tersalurkan. Semacam libido terputuskan. Akhirnya, menggerus semangat dan moral pasukan.

Karena itu, tak aneh bila muncul seruan agar yang kalah legawa. Contohnya, Wakil Ketua Umum Partai Golkar kubu Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, meminta Aburizal Bakrie dan pendukungnya legawa menerima putusan Mahkamah Partai Golkar yang memenangkan mereka. Katanya, keputusan mahkamah itu harus dihormati semua pihak.

Contoh lain, setelah menang di PTUN, mantan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali mengharapkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly agar tak banding. Menteri yang memenangkan kubu Romahurmuziy agar berlapang dada menerima keputusan PTUN.

Suryadharma Ali sebagaimana dikutip dari media massa mengatakan, ”Saya mengetuk kemuliaan hati seorang Laoly….”

Politik ialah seni membujuk. Adapun hukum ialah seni beperkara atas nama keadilan para pihak. Kata Laoly, ”Prinsipnya, kita harus membela keputusan kita.”

Itu artinya, Menteri Hukum dan HAM memilih lapang dada, legawa bila telah sampai pada keputusan berkekuatan hukum tetap.

Legawa, lapang dada, jiwa besar, merupakan kualitas langka. Kualitas hebat itu tak bisa tegak sendirian tanpa pihak lain. Tak ada legawa kalau yang menang jemawa. Dalam istilah Jawa, ‘menang tanpa ngasorake’, menang tanpa merendahkan.

Mengimbau-imbau yang kalah agar legawa bisa dirasakan bentuk lain jemawa, merendahkan. Sikap itu berbahaya, dapat memacu perang berkepanjangan. Kata pepatah Latin, lalat juga punya limpa. <>Habet et musca splenem. Orang yang paling hina pun mempunyai perasaan. Apalagi elite partai, pernah menteri pula, sekalipun kalah jadi ketua umum.

Pahit mengatakan legawa tak berkaitan dengan jam terbang. Tidak dengan sendirinya pemimpin di level nasional, telah makan asam garam, memiliki beautiful mind. Tak jarang pemimpin berdada sempit, berhati keruh, sesempit dan sekeruh kepentingan.

Lalat juga punya limpa. Jangan-jangan lalat juga punya legawa.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.